Oleh: Zainuddin Djaka
Dewan Pendidikan Pendidikan Kota Makassar.
A. Pendahuluan
“Kecuali mereka yang telah bertobat, mengadakan perbaikan dan menjelaskan(nya). Mereka itulah yang Aku terima tobatnya, dan Akulah Yang Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang” [Surah Al-Baqarah: 160].
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Sesungguhnya tobat kepada Allah itu hanya (pantas) bagi mereka yang melakukan perbuatan buruk karena ketidaktahuan, kemudian segera bertobat” [Surah An Nisa: 17]
“Tetapi barangsiapa bertobat setelah melakukan kedzaliman dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Surah Al Maidah: 39]
“Dan (ada pula) orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampuradukkan perbuatan yang baik dengan perbuatan lain yang buruk” [Surah At Taubah: 102]
PASCA Penetapan Presiden pada Tahun 2024 dan para Kepala Daerah pada Tahun 2025 menjadi harapan bagi masyarakat Indonesia akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari Presiden sebagai pimpinan negara (dan pemerintahan) serta kepala daerah sebagai pemimpin daerah (provinsi dan kabupaten/kota).
Kehidupan yang lebih baik dari yang lalu ini dijanjikan oleh pemimpin negara dan para pemimpin daerah sewaktu melakukan kampanye politik, dengan berbagai variasinya namun intinya akan membawa masyarakat kepada kehidupan yang lebih sejahtera.
Tampaknya, menjadi Presiden di republik yang katanya “gelap” ini cukup menjanjikan, sehingga menimbulkan pertarungan yang sangat seru untuk memperolehnya sebagai pemenang. Konon katanya, juga tidak terlepas dari “permainan uang (money politic)”. Kontestan siapa yang melakukannya? Wallahu ‘alam bis sawab!
Suap menyuap merupakan salah satu jenis kejahatan yang tergolong “white collar crime” yang cukup sulit pembuktiannya. Janji para kontestan untuk melakukan pemberantasan korupsi jika terpilih akan menjadi janji saja dan sulit menjadi realitas (kenyataan) jika “yang terpilih menjadi
Presiden dan Kepala Daerah” tidak benar-benar melakukan “Tobat Nasuha”.
Mengapa? Karena disadari bahwa Presiden dan para kepala lembaga yang menjadi pembantunya serta kepala daerah yang terpilih ini merupakan sosok yang juga punya “rekam jejak” yang dapat menjadi faktor pertimbangan di dalam mengambil keputusan menegakkan hukum dalam pemberantasan korupsi.
Namun rakyat Indonesia memang tidak punya pilihan lain. Rakyat Indonesia tidak sedang membutuhkan seorang presiden dari kalangan “malaikat” yang dalam rekam jejaknya tidak pernah membuat kesalahan atau berbuat dosa. Oleh karenanya, satu-satunya solusi agar bangsa Indonesia ini dapat
dibebaskan dari kondisi keterpurukan hukum dan ekonomi, seyogianya, para pemimpin pemerintahan di semua level (nasional, daerah, dan desa) melakukan “tobat nasuha”.
Dengan kata lain, mereka benar-benar bertekad dan berniat seratus persen untuk tidak lagi mengulangi perbuatan korupsi, perkolusian, dan segala bentuk kejahatan lainnya di masa lalu (kalau ada), dan berjanji kepada diri sendiri harus membuang jauh-jauh ke lautan yang paling dalam segala “sifat-sifat keserakahan” yang ada pada dirinya di masa lalu.
Hal ini dilakukan melalui suatu transformasi dari transisi pemerintahan atau rezim. Transformasi dari pemimpin yang bersifat serakah menjadi pemimpin bersifat amanah, dan transformasi pemimpin yang berkarakter koruptif menjadi pemimpin yang berkarakter jujur dan berintegritas.
Menurut Samuel Huntington, transisi rezim dapat dilihat dari tiga tipe, yaitu “replacement”, “transplacement”, dan “transformation”.
Momentum untuk “replacement” (penggantian total rezim) sudah lewat, kondisi “transplacement” yang melanda Indonesia saat ini yang tidak mampu membebaskan bangsa ini dari “cengkeraman kuat korupsi dari para koruptor kelas kakapnya”, “transplacement” adalah naiknya pemerintah baru, hasil kolaborasi rezim (koalisi) lama dan rezim (koalisi) baru], sedangkan “transformation” adalah terbentuknya pemerintahan dari hasil pemikiran dan ide baru.
Oleh karenanya, tipe “transformation” inilah yang merupakan solusi yang paling logis untuk membebaskan bangsa ini dari berbagai keterpurukan. Transformasi dimaknai sebagai komitmen dengan sepenuh hati untuk bertindak secara radikal dalam memberantas korupsi.
Presiden sebagai pemimpin tertinggi pemerintahan harus mempunyai “political strong will” untuk memberantas korupsi, harus juga mengangkat sosok pembantu-pembantunya yang memiliki komitmen yang sama. Tanpa hal itu, maka kembali dan kembali bangsa Indonesia akan berputar-putar di “lingkaran setan yang tidak berujung pangkal”.
Khusus di bidang penegakan hukum, di korps kejaksaan, seharusnya mendekati “sosok karakter Baharuddin Lopa” dan di korps kepolisian, seharusnya mendekati “sosok karakter Hoegeng” serta Menteri Keuangan seharusnya mendekati “sosok karakter Mar’ie Muhammad.”
Apabila institusi penegak hukum kejaksaan ini telah dipimpin oleh Jaksa Agung, kepolisian ini telah dipimpin oleh Kapolri, dan Menteri Keuangan yang benar-benar memperlihatkan suatu komitmen yang kuat dan radikal untuk memberantas KKN, cerdas, dan amanah, maka masihkah adakah pejabat atau orang yang nekat untuk melakukan korupsi dan apabila hal ini terwujud, maka akan berdampak kepada penguatan hukum.
Lemahnya hukum berdampak kepada “melemahnya perekonomian” dan “potensi meningkatnya kriminalitas” menjadi pekerjaan rumah bagi institusi penegak hukum. Menguatnya hukum di suatu negara, maka akan mewujudkan suatu negara yang kuat, dan hanya negara yang kuat yang dapat melindungi rakyatnya dari perilaku kekerasan, dan mampu menghukum para koruptor tanpa diskriminasi.
Menurut pakar, “negara yang kuat” bukanlah sebagai suatu negara yang otoriter, tetapi negara yang mampu mengefektifkan “perangkat pemerintahan”, termasuk “perangkat penegakan hukum” secara optimal.
Menurut Fukuyama, “negara kuat adalah suatu negara yang memiliki kemampuan untuk memaksa rakyat menaati aturan dan hukum negara, termasuk dengan paksaan fisik”. Caranya mewujudkannya bagaimana?
Melalui “penegakan hukum” yang baik.
Untuk mewujudkan suatu “negara kuat”, maka pemerintahnya harus mempunyai kemampuan mengonsolidasikan kekuatan sosial, politik, dan ekonomi untuk mendukung tegaknya “hukum dan keadilan”.
Hal ini juga selaras dengan yang dikemukakan oleh Harmon Zeigler: “In modern society, law derives, at least partially, from the norms supported primaliry by certain social, political and economic groups” [Di dalam masyarakat modern, hukum timbul, setidak-tidaknya sebagian, dari kaidah-kaidah yang didukung utamanya oleh kelompok-kelompok sosial, politik, dan ekonomi tertentu].
Oleh karena itu, agar pemerintah bersama masyarakatnya mampu melakukan “penguatan hukum” di Indonesia, sosok pemimpin pemerintahan dan para pembantunya harus memiliki sejumlah kriteria untuk itu. Begitu pun juga agar pemerintah daerah mampu melakukan “penguatan hukum” di daerahnya, sosok kepala daerah dan para pembantunya juga harus memiliki sejumlah kriteria untuk itu.
Terwujudnya “penguatan hukum” di Indonesia secara umum dan di daerah (termasuk desa) secara khusus, tidak sekadar membutuhkan sosok presiden bersama pembantunya dan kepala daerah (kepala desa) yang “kuat”, tetapi juga sosok yang “mampu menyelesaikan masalah-masalah krusial, terutama pemberantasan korupsi yang sudah membelukar dan mengakar, dan bukan sosok yang merupakan bagian dari masalah itu sendiri”.
Dengan melihat kondisi faktual saat ini, memang sulit jika kita masih mendambakan sosok-sosok “malaikat” dari pemimpin pemerintahan di pusat dan pemimpin di daerah (desa) yang memiliki rekam jejak yang benar-benar bersih.
Pengertian “bersih” disini bukan hanya bersih dari korupsi, tetapi juga bersih dari konspirasinya dengan oligarki yang bermasalah atau yang sangat berpotensi melakukan KKN yang baru.
Olehnya, yang dibutuhkan Indonesia saat ini yaitu sosok pimpinan pemerintahan (negara) dan pimpinan pemerintahan daerah yang memiliki “will” untuk “tobat nasuha” dan diikuti oleh pembantu-pembantunya, dalam arti bertekad tidak akan mengulangi lagi atau melanjutkan perilaku tercelanya di masa lalu.
“Will” untuk “tobat nasuha” ini tentunya dapat terlaksana jika pemimpin pemerintahan (negara) dan para pimpinan daerah yang baru saat ini tidak terlibat dalam penyanderaan oleh pihak-pihak tertentu dan/atau oligarki yang menjadi pendukung dan/atau sponsor dalam keterpilihan dalam
konstetasi.
Penyanderaan oleh pihak-pihak tertentu akan berdampak kepada “balas budi” berupa pemberian posisi-posisi penting dalam pemerintahan, sedangkan penyanderaan oleh oligarki akan berdampak kepada “ketidakberdayaan untuk bertindak tegas”.
B. Implementasi Pasca “Tobat Nasuha”
Apabila pemimpin pemerintahan di semua level ini benar-benar dapat dan mau melakukan “tobat nasuha”, maka yang paling utama dan pertama harus dilakukannya, yaitu “menguatkan penegakan hukum di Indonesia, yang saat ini menurut para Pakar sudah sedemikian lemahnya, terutama ketika berhadapan dengan pelaku “white collar crime”.
Jika sudah terjadi “penguatan dalam penegakan hukum”, maka tentunya secara bertahap akan diharapkan terwujudnya penegakan hukum yang terintegrasi dengan penegakan hukum yang berkeadilan, bermanfaat untuk rakyat banyak, dan menjamin kepastian hukum (bukan hanya sekadar kepastian undang-undang).
Pernyataan “melemahnya hukum di Indonesia” didasarkan pada asumsi awal bahwa agar dapat menemukan solusi untuk melakukan “penguatan hukum di Indonesia” yakni dengan memandang “hukum bukan sesuatu yang otonom” tetapi hanya merupakan “salah satu bagian dari masyarakat sebagai satu sistem yang terintegrasi secara utuh”.
Hal ini selaras dengan yang dikemukakan oleh Roscoe Pound (Achmad Ali, 1998: 12-13): “Let us look the fact of human conduct in the face. Let us look to economics and sociology and philosophy, and cause to assume that jurisprudence is self-sufficient. Let us not become legal monks” [Marilah kita memelajari fakta-fakta tingkah laku manusia. Marilah kita juga memelajari ekonomi dan sosiologi dan filosofi, dan berhenti untuk berasumsi seolah-olah ilmu hukum adalah sesuatu yang otonom. Marilah kita tidak menjadi“pendeta-pendeta hukum”.
Dari pendapat ini dapat diketahui bahwa “hukum itu tidak otonom”, karena hukum itu tumbuh dan berkembang bersama dengan pertumbuhan masyarakatnya. Hukum itu senantiasa bersifat kontekstual. Kita harus melepaskan diri dari perangkap pandangan mashab normatif-legalistik yang memandang ”hukum sebagai sesuatu yang otonom”, agar kita mampu memahami penyebab “melemahnya hukum di Indonesia”.
Kita tidak akan berhasil melakukan penguatan hukum, jika kita tidak dapat melihat bahwa hukum
merupakan bagian dari lingkungan sosialnya. Dengan kata lain, kita harus memandang hukum sebagai “suatu subsistem dari masyarakat sebagai suatu sistem yang terintegrasi (utuh)”. Upaya “menguatkan hukum” di Indonesia harus mencakup ketiga unsur sistem hukum, yaitu struktur (structure), substansi (substance), dan kultur hukum (legal culture).
Struktur adalah kerangka atau rangka hukum, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan (Friedman). Di Indonesia, jika kita berbicara tentang “struktur” dari sistem hukum Indonesia, maka termasuk di dalamnya struktur institusi penegakan hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
Substansi adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu (Friedman). Substansi juga berarti “produk” yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, kebijakan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup “living law” (hukum yang hidup), bukan hanya aturan yang ada dalam Kitab Undang-undang atau “law books”.
Kultur hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukumkepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya (Friedman). Pemikiran dan pendapat ini dapat menjadi penentu jalannya proses hukum.
Dengan kata lain, kultur hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Tanpa kultur hukum, sistem hukum menjadi tidak berdaya, seperti ikan yang mati terkapar di keranjang, yang seharusnya seperti ikan
yang hidup berenang di laut.
Dari uraian di atas, dapat dikemukakan secara singkat fungsi ketiga unsur sistem hukum, yaitu: (i) struktur diibaratkan sebagai mesin; (ii) substansi adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh mesin (struktur); kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan mesin atau mematikan mesin serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan.
Setelah puluhan tahun supremasi hukum dan keadilan yang didambakan oleh masyarakat tidak jua terwujud, malahan hukum semakin terpuruk sehingga kepercayaan masyarakat terhadap “law enforcement” semakin memburuk, sehingga menimbulkan kekhawatiran bahwa masyarakat Indonesia saat ini tidak hanya sekadar termasuk “bad trust society” tetapi akan menuju pada tahap “worst trust society”.
Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya fakta penyimpangan-penyimpangan yang berpotensi merugikan keuangan negara yang dilakukan oleh perorangan maupun secara berjamaah oleh institusi yang memberikan layanan terhadap kebutuhan hajat hidup masyarakat banyak.
Keterpurukan kepercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan “law enforcement” diperparah oleh putusan lembaga pengadilan yang menjadi benteng terakhir bagi pencari keadilan tampaknya jauh panggang dari api.
Hal ini memunculkan kritik yang dituangkan dalam suatu syair bagi penegak hukum yang berpretensi menggenalisir, yang bunyinya: “Mereka tidak mempraktikan hukum, tetapi mereka hanya bersembunyi di belakangnya. Mereka menggunakan hukum sebagai palu untuk melindungi para koruptor yang mempunyai fulus besar dan kekuasaan besar. Sebenarnya mereka tak tertarik pada
hukum, tetapi hanya mau menang, sebab kemenangan di pengadilan memuaskan ego mereka dan mengisi rekening mereka. Demi uang, mereka menggadaikan bahkan menyerahkan integritas mereka. Demi uang, mereka membuat keadilan menjadi kerdil”.
Salah satu hal terpenting yang harus dilakukan untuk “melakukan penguatan hukum” di Indonesia, yaitu “mengembalikan hukum pada akar moralitasnya”, karena penegakan hukum tanpa moral keadilan, menurut Satjipto Rahardjo -hanya sebagai “penegakan hukum ala Zombie”- bangkai berjalan tanpa roh. Moralitas keadilan merupakan roh dari hukum.
Oleh karenanya, perlu suatu keberanian dari pemimpin tertinggi di Indonesia untuk bertekad dan berniat membangun “law enforcement” melalui “penguatan hukum” secara terintegrasi yang dimulai dari “tobat nasuha” secara nasional bagi seluruh jajaran penyelenggara pemerintahan, mulai dari level pusat, daerah sampai ke desa.
Kemudian dilanjutkan dengan membangun integritas dan moralitas bagi seluruh jajaran
penyelenggara pemerintahan. Selanjutnya, dibangun sistem hukum yang kuat dengan bertumpu pada kultur hukum penerapan “budaya malu” dan “lengser ke prabon” apabila terbukti melakukan “freud” dan korupsi.
Langkah berikutnya, menurut Satjipto Rahardjo, yaitu adanya keberanian dari para pembuat putusan-putusan hukum (khususnya Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, DPR, DPD, dan Pemerintah) untuk menciptakan “prosedur luar biasa” (extra ordinary measures) dan membangun kultur kebersamaan (corporate cultur) dalam proses peradilan, terutama para hakim, jaksa, dan pengacara.
Cara-cara “prosedur luar biasa” ini tampaknya perlu dilakukan, agar oknum-oknum dari jajaran legislatif, eksekutif, maupun yudikatif yang memiliki keberanian untuk tidak mau dikalahkan begitu saja oleh kata-kata yang tertulis secara “hitam-putih” dalam Peraturan Perundang-undangan dapat dikendalikan.
Makassar, 6 Maret 2025