Site icon Ujung Jari

Aktivis Antikorupsi Dukung Kejati  Usut Dugaan Penyimpangan Pemberian Izin Tambang C Tikala

MAKASSAR, UJUNGJARI–Lembaga Pusat Kajian Advokasi Antikorupsi (PUKAT) Sulawesi Selatan meminta Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) untuk bisa membuka penyelidikan terkait dugaan penyimpangan pemberian izin pertambangan galian C berupa tambang batu di Kecamatan Tikala, Kabupaten Toraja Utara.

Direktur PUKAT Sulsel, Farid Mamma menyebutkan penyelidikan oleh kejaksaan tersebut penting agar polemik pemberian izin kegiatan penambangan batu di Tikala tidak terus berkepanjangan.

“Belakangan kan sudah diungkap oleh perwakilan warga atau tokoh masyarakat di Tikala bahwa ada Perda RTRW Toraja Utara yang ternyata tidak memasukkan Tikala dalam kawasan peruntukan pertambangan. Sementara dalam UU Minerba terdapat ketentuan yang mewajibkan mempertimbangkan kesesuaian tata ruang wilayah sebelum pemberian izin usaha pertambangan,” ujar Farid dimintai tanggapannya, Selasa (29/4/2025).

Dia menyebutkan, pasal-pasal dalam UU Minerba terbaru pun telah mengatur bahwa pemanfaatan ruang untuk kegiatan pertambangan harus sesuai dengan ketentuan tata ruang dan peraturan perundang-undangan terkait.

“Pertanyaannya kemudian kok aktivitas pertambangan di Tikala telah memperoleh persetujuan hingga dokumen perizinan jika mengacu pada Perda RTRW Toraja Utara. Artinya ada dugaan penerbitan izin yang tidak prosedural karena telah mengesampingkan kesesuaian tata ruang wilayah setempat,” ujar Farid.

Menurutnya, pengusutan polemik pemberian izin yang diduga tak prosedural sekaitan aktivitas pertambangan galian C di Tikala oleh kejaksaan sangat mungkin dilakukan, terutama jika ditemukan indikasi dugaan manipulasi dokumen dan prosedur perizinan yang tidak sesuai aturan, seperti pemberian izin di luar kawasan yang diatur dalam Perda RTRW.

Dugaan tindak pidana korupsi, kata Farid, dapat muncul jika ada bukti keterlibatan pejabat atau pihak terkait yang memberikan izin secara tidak sah atau menerima keuntungan dari proses perizinan yang melanggar ketentuan tata ruang dan prosedur perizinan.

“Untuk membuktikan unsur perbuatan dugaan korupsinya bisa dengan menyelidiki bukti administrasi dan dokumen-dokumen yang dimiliki aktivitas tambang tersebut,” jelas Farid.

“Periksa dokumen perizinan, apakah prosedur perizinan telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, terutama kesesuaian dengan Perda RTRW setempat dalam hal ini Toraja Utara dan UU Minerba itu sendiri,” Farid menambahkan.

Selain itu, kejaksaan juga bisa menyelidiki lebih lanjut mengenai berita acara verifikasi apakah kawasan Tikala memang sudah resmi diubah statusnya menjadi kawasan pertambangan melalui proses revisi yang sah dan melibatkan pemerintah daerah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Toraja Utara dan Provinsi Sulawesi Selatan?.

“Ini juga bisa menjadi pintu masuk untuk penyelidikan oleh kejaksaan,” tutur Farid.

Selanjutnya, sambung Farid, kejaksaan juga bisa menelusuri apakah ada pejabat atau pihak yang memfasilitasi penerbitan izin secara tidak prosedural dan apakah ada unsur gratifikasi atau suap terkait pemberian izin tersebut?.

“Tentunya ada namanya tahapan pengumpulan keterangan masyarakat dan bukti dampak yang ditimbulkan dari aktivitas tambang yang tidak sesuai perizinan sebagai bukti pendukung adanya dugaan pelanggaran sekaitan aktivitas penambangan yang dimaksud,” ucap Farid.

Terakhir, kata dia, ada namanya upaya audit dan investigasi independen. Di mana dalam proses audit nantinya, pihak kejaksaan bisa menggandeng instansi berwenang seperti BPK atau BPKP untuk mengungkap adanya pelanggaran administrasi dan korupsi dalam proses perizinan tambang di Tikala tersebut.

“Jadi demikian, jika betul diperoleh fakta bahwa izin tambang tersebut dikeluarkan untuk kawasan yang tidak sesuai tata ruang wilayah daerah yang dimaksud dalam hal ini merujuk pada Perda RTRW Toraja Utara, maka penegak hukum dapat melakukan pengusutan terkait dugaan korupsi dengan fokus pada prosedur perizinan, dokumen yang dimanipulasi, dan keterlibatan pejabat yang memberikan izin secara tidak sah,” Farid menandaskan.

Perda RTRW Toraja Utara Tak Masukkan Tikala Sebagai Kawasan Peruntukan Tambang

Rektor Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKI Paulus) Makassar, Prof Agus Salim mengaku sangat yakin jika dalam pemberian rekomendasi hingga perizinan aktivitas pertambangan galian C berupa tambang bebatuan di Kecamatan Tikala, Kabupaten Toraja Utara diduga kuat tak prosedural atau memenuhi syarat-syarat teknis yang bersifat sangat prinsipal dalam memperoleh rekomendasi hingga persetujuan-persetujuan menyangkut izin pertambangan, yakni mengenai kesesuaian tata ruang wilayah yang ada.

Di mana, kata Prof Agus, dalam Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Toraja Utara Nomor 3 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Toraja Utara tahun 2012-2032 telah disebutkan sejumlah kecamatan yang ada di Kabupaten Toraja Utara yang masuk dalam kawasan peruntukan pertambangan.

Pertama kawasan peruntukan pertambangan jenis mineral berupa komoditas mineral seperti biji besi, emas dan tembaga yang menunjuk pada lokasi Kecamatan Buntu Papasan dan Kecamatan Sa’dan.

Kedua kawasan peruntukan pertambangan jenis mineral berupa komoditas batuan seperti kerikil berpasir alami yang menunjuk pada lokasi Kecamatan Sa’dan, Kecamatan Balusu, Kecamatan Tondon, Kecamatan Tallunglipu, Kecamatan Rantepao, Kecamatan Kesu, Kecamatan Kepala Pitu, Kecamatan Dende Piongan Napo. Sementara jenis mineral berupa komoditas batuan kars menunjuk pada lokasi Kecamatan Sopai, Kecamatan Kesu’ dan Kecamatan Sanggalangi’.

“Dalam Perda RTRW Toraja Utara tersebut tidak menyebutkan Kecamatan Tikala masuk dalam kawasan peruntukan pertambangan, sementara di sana ada tambang dan diizinkan, kenapa bisa?,” Kata Prof Agus Salim, Selasa 22 April 2025.

Dia pun mempertanyakan terkait sah tidaknya prosedur perizinan yang telah dilakukan oleh CV. BD dalam menunjang aktivitas penambangannya di wilayah Tikala tersebut jika merujuk pada Perda RTRW Kabupaten Toraja Utara yang ada.

“Kalau berdasarkan Perda yang menyatakan kawasan Tikala tidak masuk zona peruntukan tambang, ini menjadi pertanyaan kenapa bisa keluar izin, apakah ini sudah sesuai prosedur sehingga kami menduga ada dugaan kongkalikong dalam persetujuan pemberian rekomendasi hingga berujung mendapatkan perizinan tambang lebih lanjut,” ujar Prof Agus Salim.

Ia pun berharap Aparat Penegak Hukum dalam hal ini misalnya Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) bisa menjadikan hal tersebut sebagai pintu masuk penyelidikan terkait adanya dugaan aroma suap dalam memperoleh persetujuan-persetujuan berupa rekomendasi hingga pemberian izin operasi pertambangan di Kecamatan Tikala yang dimaksud.

“Ini menjadi pintu Kejaksaan untuk turun menyelidiki hal ini, kalau memang benar berarti kuat dugaan ada penyalahgunaan kewenangan oleh Instansi terkait pada pemberian rekomendasi hingga penerbitan izin tersebut,” tegas Prof Agus Salim.

Terpisah, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKI Paulus) Makassar, Jermias Rarsina menjelaskan, pada intinya jika berbicara menyangkut tambang, regulasi bakunya sudah ada dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 yang telah diperbarui lagi dalam UU Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Di mana dalam regulasi tersebut, kata dia, ditegaskan ada tiga hal yang tidak boleh dilupakan. Pertama harus ada pengakuan hak atas tanah, kedua ada kesesuaian tata ruang wilayah dan yang ketiga menyangkut analisis dampak terhadap lingkungan.

Terkhusus menyangkut kesesuaian tata ruang sendiri, kata Jermias, hal itu sangat fundamental dan bersifat sangat prinsipil sekali dalam menentukan wilayah tambang.

“Mengapa, karena dalam UU No.3 Tahun 2020 yang merupakan regulasi umum dalam pertambangan, itu sudah menegaskan peranan daripada Pemerintah Provinsi, Kabupaten dalam bersinergitas untuk menentukan tentang persetujuan wilayah tambang,” ucapnya.

Sekaitan dengan kasus tambang galian C berupa tambang bebatuan yang ada di Kecamatan Tikala, Kabupaten Toraja Utara yang dilakukan oleh perusahaan inisial CV. BD, sebut Jermias, ternyata setelah ditelisik lebih dalam, ditemukan ada Peraturan Daerah atau Perda Kabupaten Toraja Utara Nomor 3 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Toraja Utara tahun 2012-2032.

Di mana dalam Perda RTRW Kabupaten Toraja Utara tersebut, disebutkan kawasan peruntukan pertambangan dan ternyata Kecamatan Tikala tak masuk dalam kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dalam Perda RTRW Toraja Utara yang dimaksud.

“Karena Kecamatan Tikala tak masuk dan area itu telah ditetapkan sebagai wilayah pertambangan, maka tentu ada proses dan tahapan yang telah dilakukan dalam hal merevisi terlebih dahulu status dari daerah tersebut menjadi kawasan pertambangan dan ini melibatkan peranan dari Pemerintah Kabupaten juga provinsi. Apakah proses dan tahapan ini sudah dilakukan?, melihat ada Perda RTRW Kabupaten Toraja Utara yang mengatur tentang kawasan pertambangan dan Kecamatan Tikala tak masuk sebagai kawasan peruntukan pertambangan yang dimaksud,” ungkap Jermias.

“Karena dalam Perda RTRW Toraja Utara, Tikala tak masuk dalam kawasan peruntukan pertambangan, maka seharusnya terlebih dahulu statusnya ditiadakan melalui proses dan tahapan yang diatur dalam regulasi dan melibatkan instansi-instansi terkait sebelum menetapkan untuk menjadi wilayah peruntukan pertambangan,” Jermias melanjutkan.

Ia menegaskan jika hal tersebut tak dilakukan, maka sesuai regulasi yang ada, maka sangat jelas bahwa aktivitas pertambangan yang ada di Tikala jelas tidak memenuhi persyaratan teknis untuk mendapatkan rekomendasi hingga mendapatkan izin pengoperasian pertambangan.

Jika dugaan pelanggaran administrasi yang dimaksud, kata Jermias, benar-benar terjadi, maka disitulah muncul adanya kejahatan pertambangan yang modusnya adalah memanipulasi administrasi berupa dokumen-dokumen untuk memperoleh persetujuan-persetujuan, mendapat rekomendasi dan menerbitkan izin wilayah pertambangan, sementara dari sisi peruntukan pemanfaatan lahannya, Kecamatan Tikala belum dihapus atau diturunkan statusnya sebagai kawasan wisata menjadi kawasan peruntukan pertambangan. Harus ada namanya Area Peruntukan Lain (APL).

“Ini akan menarik jika dikemudian hari ditemukan pelanggaran-pelanggaran ini oleh instansi berwenang terkait lainnya seperti legislator sebagai penerima aspirasi masyarakat melalui hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) misalnya,” tutur Jermias.

Jika ada kegiatan pertambangan berjalan dan ditemukan tak memenuhi persyaratan teknis dalam kesesuaian tata ruang wilayah, kata Jermias, maka sangat patut diduga adanya dugaan penyalahgunaan wewenang yang terjadi di dalamnya.

Pemerintah Provinsi dan daerah juga bisa segera melakukan evaluasi dan meninjau ulang rekomendasi hingga izin yang diberikan kepada perusahaan pertambangan yang dimaksud. Karena rekomendasi atau izin yang diberikan itu hanya menyangkut dengan hak pengelolaan dan kapan saja bisa dievaluasi bahkan dicabut jika ditemukan ada pelanggaran atau melanggar aturan dalam proses dan tahapan untuk memperolehnya.

“Saya kira Kejaksaan Agung sudah cukup tegas dalam menangani persoalan seperti ini sehingga ada baiknya kasus ini segera ditangani Kejaksaan Tinggi Sulsel dengan lebih awal menurunkan tim intelijennya untuk melakukan puldata dan pulbaket di lapangan. Apalagi beberapa alat bukti sudah ada seperti SK Bupati mengenai destinasi wisata dan Perda RTRW yang menegaskan bahwa Tikala tidak termasuk kawasan peruntukan pertambangan. Saya kira ini sudah sangat cukup untuk ditangani oleh Kejaksaan Tinggi Sulsel,” terang Jermias.

Apalagi, lanjut dia, juga adanya SK Bupati Torut Nomor 393/XI/2012 Tentang Penetapan Objek dan Daya Tarik Wisata di Kabupaten Toraja Utara yang intinya di daerah Tikala ada destinasi pariwisata berupa Arca Batu termasuk terdapat rumah Tongkonan Marimbunna milik klan/kerabat keluarga warga setempat. Sementara kegiatan penambangan galian C dilakukan di atasnya (situs wisata), maka sudah tentunya kesesuaian tata ruang wilayah izin tambang milik CV. BD harus ditinjau kembali.

Hal itu, kata Jermias, merupakan suatu pelanggaran hukum dari aspek perencanaan tata ruang wilayah tambang galian C (tambang berbatuan), terkecuali secara hukum telah dihilangkan/hapus status dari destinasi pariwisata tersebut untuk menjadi area peruntukan lainnya yaitu tambang galian C (tambang  berbatuan).

Dia mengatakan, pengalihan penurunan status sebuah lokasi tidak mudah prosedurnya, melainkan harus memerlukan tahapan/fase regulasi sesuai syarat-syarat yang ditentukan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku tentang penurunan status. Proses pengkajiannya pun sangat komprehensif dan memerlukan waktu yang relatif panjang, karena melibatkan lintas sektoral berwenang dan terkait lainnya.

“Bila benar fakta hukumnya sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka tidak ada alasan lain lagi selain APH ( Aparat Penegak Hukum) yang berwenang segera menelusuri izin penambangan yang berdiri diatas SK Bupati Torut Nomor 393/XI/2012 sebagai sebuah bentuk pelanggaran hukum dalam pemberian izin penambangan galian C di atas destinasi pariwisata situs Arca Batu,” tegas Jermias.

Keputusan pemberian ijin tambang di atas SK Bupati Torut yang bersifat tumpang tindih wewenang, kata Jermias, bukan berarti ada ambivalen keputusan yang sifatnya remeh-teme ( hal biasa) begitu saja, tetapi wajib secara hukum ditelusuri prosesnya karena ada/terdapat prilaku/perbuatan pengambilan keputusan dalam dugaan penyalahgunaan wewenang yang dapat menimbulkan kerugian keuangan dan/atau ekonomi negara dan pelanggaran hukum pengrusakan situs Arca Batu.

Yang terakhir, sebut Jermias, yang tak kalah penting menyangkut analisis dampak lingkungan. Sekali pun telah memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh izin aktivitas pertambangan, tapi ternyata dalam melakukan kegiatan pertambangan ada melabrak rambu-rambu tentang analisis dampak lingkungan seperti yang dikatakan kemarin oleh masyarakat Tikala bahwa sawah mereka menjadi tercemar oleh serbuk-serbuk kapur yang dihasilkan dari aktivitas tambang yang ada dan demikian juga sumber air yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya juga terancam tercemar, maka tentunya harus melibatkan instansi terkait dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup untuk juga segera turun melakukan pengecekan lapangan dan menegakkan aturan jika ditemukan betul demikian itu telah terjadi. (*)

Exit mobile version