JAKARTA, UJUNGJARI.COM — Pembatalan mutasi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo dari jabatan Pangkogabwilhan I menjadi Staf Khusus KSAD terus menjadi perbincangan hangat publik.
Mutasi yang sebelumnya tertuang dalam Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/554/IV/2025 itu dibatalkan melalui SK Kep/554.a/IV/2025 tertanggal 30 April 2025, mengembalikan Letjen Kunto ke posisinya semula.
Anggota Komisi I DPR RI, Irjen Pol (Purn) Drs. Frederik Kalalembang, menyayangkan dinamika ini karena dinilai menimbulkan tanda tanya di masyarakat.
“Mutasi itu hal rutin, tapi kalau sampai ada pembatalan, itu yang tidak biasa. Seharusnya sebelum diputuskan, dirapatkan dulu dalam sidang Wanjakti agar matang, tidak asal umumkan lalu dibatalkan. Jangan sampai masalah internal seperti ini justru menciptakan kegaduhan yang mengganggu fokus TNI,” ujar Frederik.
Ia menekankan pentingnya transparansi dan koordinasi yang lebih baik di lingkup internal TNI agar setiap keputusan terkait pergeseran jabatan memiliki dasar yang jelas dan tidak membuka peluang spekulasi atau dugaan campur tangan pihak luar.
“TNI harus semakin kuat dan solid, jangan sampai kepercayaan publik tergerus hanya karena masalah teknis mutasi,” tambahnya.
Beranjak dari masalah mutasi, Frederik mengingatkan bahwa perhatian utama seharusnya tertuju pada penyelesaian konflik di Papua yang belum kunjung selesai.
Menurut data terbaru, sepanjang tahun 2025 telah terjadi 21 konflik bersenjata antara TPNPB-OPM dan TNI-Polri, menyebabkan setidaknya 40 korban jiwa, termasuk personel keamanan dan warga sipil.
Salah satu insiden tragis terjadi pada Maret 2025, di mana kelompok bersenjata menyerang para guru dan tenaga kesehatan migran di Distrik Angguruk, Kabupaten Yahukimo. Serangan ini mengakibatkan satu orang tewas dan enam lainnya luka parah.
Frederik menekankan bahwa pengiriman pasukan ke Papua tidak boleh sekadar dipahami sebagai pergantian pos atau rotasi rutin.
“Kita ini menghadapi perang gerilya, musuh bisa muncul setiap hari, medan berat, masyarakat sipil ikut terdampak. Jangan sampai pasukan yang dikirim hanya sekadar gantian jaga tanpa pembekalan yang jelas,” tegasnya.
Sebagai solusi, Frederik mendorong agar setiap prajurit dan aparat negara yang dikirim ke Papua dibekali pelatihan khusus, pemahaman medan, wawasan sosial-budaya, dan langkah-langkah strategis di daerah konflik. Ia juga menilai pentingnya peran intelijen.
“Kita akan cari waktu yang tepat untuk mengundang Panglima TNI, Kapolri, Kepala BIN, dan Menteri Dalam Negeri, membahas strategi bersama dan kerja sama lintas lembaga dalam mengamankan Papua. Kami perlu tahu bagaimana informasi dari BIN disalurkan agar pasukan kita di lapangan tidak bekerja buta,” ujarnya.
Frederik mengingatkan bahwa korban di Papua bukan hanya TNI-Polri, tetapi juga ASN dan masyarakat sipil. Karena itu, koordinasi lintas lembaga harus diperkuat agar langkah-langkah yang dilakukan lebih efektif dan berorientasi pada penyelamatan nyawa serta penyelesaian konflik.
“Masalah Papua ini sudah terlalu lama. Jangan sampai energi kita habis hanya untuk mengurus mutasi pejabat, sementara di lapangan korban terus berjatuhan,” pungkasnya. (*)