Oleh: Prof dr Taruna Ikrar
DI TENGAH hamparan Mina, jutaan langkah bergema. Tak ada sorak, tak ada hiasan. Yang ada hanya hati yang tunduk, tangan yang menggenggam batu, dan jiwa yang pasrah dalam hening.
Setiap lemparan jumrah bukan sekadar lontaran batu kecil. Itu adalah lontaran dari hati— membuang amarah, dengki, hawa nafsu, dan godaan dunia.
Sebuah ikrar sunyi yang tak terucap,
namun disaksikan langit dan dicatat oleh para malaikat.
“Ya Allah, aku tinggalkan semua bisikan syaitan. Aku kembalikan hidupku kepada-Mu.”
Itulah doa yang menggema dalam dada para peziarah, yang meski tak bersuara, mengguncang Arsy-Nya dengan ketulusan.
Namun di balik spiritualitas yang mendalam, lempar jumrah juga mengandung hikmah kesehatan.
Berjalan kaki dari tenda ke tempat jumrah, berjam-jam lamanya, adalah bentuk aktivitas fisik alami yang menggerakkan tubuh, melancarkan sirkulasi darah, mengaktifkan otot dan sendi yang lama tak digunakan.
Lemparan yang diulang dengan kesungguhan pun melatih koordinasi, konsentrasi, dan pelepasan emosi.
Sebuah bentuk detoks mental dan jasmani.
Karena dalam setiap batu yang dilempar,
tersimpan tekanan, stres, dan beban hidup yang selama ini dipikul.
Maka saat batu itu terlepas dari tangan,
bukan hanya syaitan yang diusir, tapi juga racun-racun dalam jiwa dan raga.
Ini bukan ritual kosong. Ini adalah jihad total— jiwa, raga, dan seluruh harapan, disatukan dalam ikrar suci:
“Aku adalah hamba-Mu, ya Allah. Dan hanya kepada-Mu aku kembali.”