SINJAI, UJUNGJARI.COM– Di Daerah bernama Sinjai, hukum ternyata tidak selalu tegak lurus. Kadang ia membungkuk, kadang membisu. Terlebih ketika dihadapkan pada ekskavator proyek tak berizin, atau suara-suara mesin tambang ilegal yang meraung-raung tanpa takut.
Senin siang (21/7/2025), sekelompok mahasiswa dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) MPO Cabang Sinjai turun ke jalan, bukan untuk berwisata, tapi untuk menyuarakan sesuatu yang sudah lama dirasakan masyarakat akar rumput “Sinjai Darurat Hukum” Lokasi unjuk rasa tepat di depan gerbang Mapolres Sinjai simbol otoritas hukum yang kini tengah dipertanyakan.
Dalam orasinya, Koordinator Lapangan Supardi tidak hanya berbicara lantang, ia juga meneriakkan “Ada tambang ilegal, ada pabrik porang yang dibangun tanpa izin, tapi yang kami lihat justru pembiaran. Bahkan ada dugaan keterlibatan oknum aparat. Lalu, hukum ini untuk siapa?”
Peserta aksi membawa spanduk yang menyuarakan kekecewaan kolektif, salah satunya bertuliskan: “Sinjai Darurat Hukum: APH Tunduk di Hadapan Pemodal.”Satu kalimat yang mungkin dianggap satir, namun menyimpan kenyataan pahit yang dirasakan publik.
Mereka mempertanyakan pula pencabutan garis polisi di lokasi pembangunan pabrik porang di Kelurahan Lappa sebuah tindakan yang hingga kini tak diiringi klarifikasi transparan ke publik. Bukankah garis polisi itu bukan hiasan dekoratif?
Tak hanya itu, para orator menuding bahwa proyek pabrik porang tetap berlanjut meski DLHK Sinjai telah mengeluarkan surat penghentian aktivitas karena belum memiliki Persetujuan Lingkungan sesuai PP No. 22 Tahun 2021 dan UU No. 32 Tahun 2009.
Namun di Sinjai, tampaknya surat resmi kadang tak lebih berdaya dari uang investor. Ekskavator tetap bekerja, tongkang tetap bongkar muat, dan warga cuma bisa mengelus dada atau menutup hidung karena debu.
Aksi sempat memanas. Api dari ban yang dibakar mahasiswa dipadamkan paksa oleh aparat, memicu saling dorong di tengah terik matahari dan rasa frustrasi. Namun HMI tetap bersikukuh dengan tuntutan: usut tuntas tambang ilegal di Sinjai Utara dan Sinjai Timur, serta bangunan pabrik porang tanpa izin.
“Jika tidak ada respon, kami akan bawa masalah ini ke Kompolnas,”tegas Supardi.
Sayangnya, hingga berita ini ditulis, belum ada pernyataan resmi dari pihak Polres Sinjai terkait desakan massa tersebut. Mungkin para pemangku wewenang sedang sibuk membaca ulang definisi “penegakan hukum”, atau mencari kata yang tepat untuk menjelaskan “diam.”
Di negeri bernama Sinjai, aparat katanya berslogan “presisi” tapi ketika menyangkut kepentingan pemodal, jarum kompas hukum sering kali tidak lagi menunjuk ke arah keadilan.(TIM)
