Site icon Ujung Jari

Redenominasi dan Masa Depan Rupiah: Simbol Kedaulatan Ekonomi yang Baru

Oleh: Arifai Ilyas
Dosen STIE Bulungan Tarakan
Ketua DPW Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Kalimantan Utara
Sekretaris Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Tarakan Koordinator Kalimantan Utara

DI tengah tantangan ekonomi global yang makin kompleks dari tekanan inflasi, fluktuasi nilai tukar hingga transformasi digital dalam transaksi keuangan muncul wacana yang tidak hanya teknokratis tetapi juga simbolik: Rupiah akan mengalami redenominasi. Artinya: pengubahan nominal uang dengan mengurangi angka-nol (misalnya Rp 1.000 menjadi Rp 1) tanpa mengubah daya beli riilnya. Kebijakan ini kian mengemuka di Indonesia sebagai-bagian dari refleksi atas kesiapan bangsa dalam memperkuat identitas moneter, efisiensi ekonomi, dan
kedaulatan ekonomi nasional.

Tulisan opini ini hendak menyikapi redenominasi rupiah tidak sekadar sebagai reformasi teknis moneter, tetapi sebagai momentum strategis untuk menegaskan simbol kedaulatan ekonomi bangsa dan sekaligus mengurai tantangan, peluang, dan persyaratan agar kebijakan ini benar￾benar matang dan berdampak positif.

Redenominasi: Apa dan Mengapa?

Secara sederhana, redenominasi adalah proses penyederhanaan nilai nominal mata uang, yaitu menghapus angka nol tanpa mengubah nilai riilnya. Misalnya, satuan uang yang selama ini Rp1.000 bisa menjadi Rp1 dalam sistem baru, tetapi daya belinya tetap sama.

Alasan di balik wacana ini di Indonesia mencakup:
• Efisiensi transaksi dan sistem keuangan: Nominal yang besar (misalnya Rp100.000, Rp1.000.000) menyulitkan pencatatan, pembukuan, dan perhitungan baik dalam skala mikro maupun makro.
• Peningkatan citra rupiah dan kredibilitas ekonomi: Nominal tinggi terkadang memberi kesan bahwa mata uang lemah, sehingga penyederhanaan bisa memperkuat persepsi bahwa rupiah “rasional” dan ekonomi nasional semakin matang.
• Menegaskan identitas moneter dan kedaulatan: Dengan redenominasi, rupiah berpotensi tampil lebih modern, mempermudah transaksi digital, serta mengurangi ketergantungan psikologis terhadap mata uang asing (dolarisasi).

Dengan demikian, redenominasi bukan hanya soal angka nol, melainkan soal bagaimana bangsa memandang, menggunakan, dan mempercayai mata uangnya sendiri yang sejatinya adalah simbol kedaulatan ekonomi.

Redenominasi sebagai Simbol Kedaulatan Ekonomi

Kedaulatan ekonomi sebuah negara tercermin dari tiga pilar: kemampuan mengendalikan kebijakan moneter dan fiskal, kepercayaan publik terhadap institusi keuangan nasional, serta identitas dan fungsi mata uang sebagai alat tukar, penyimpan nilai, dan satuan hitung.

Dalam konteks ini, redenominasi rupiah memiliki dimensi simbolik yang penting:
• Penguatan fungsi rupiah: Jika banyak transaksi mulai menggunakan mata uang asing karena rasa kurang percaya terhadap rupiah, maka kredibilitas moneter nasional melemah. Sebaliknya, dengan mata uang nasional yang “lebih mudah dipakai, dicatat, dan dipahami”, fungsi rupiah sebagai alat tukar dan penyimpan nilai bisa semakin
optimal.
• Simbol modernitas ekonomi Indonesia: Negara maju cenderung memiliki denominasi yang relatif “wajar” dan angka nominal yang sederhana dalam transaksi sehari-hari. Dengan redenominasi yang dilakukan dengan baik, Indonesia
menunjukkan bahwa ia berada di jalur proporsional dan profesional dalam pengelolaan ekonomi nasional.
• Peningkatan kepercayaan domestik dan internasional: Dari sisi domestik, masyarakat akan melihat bahwa rupiah bukan “uang nominal tinggi yang sulit dipahami”, tetapi mata uang nasional yang mudah digunakan. Dari sisi internasional, citra bahwa Indonesia siap melakukan reformasi yang signifikan dan kredibel akan memberikan sinyal positif.

Karena itu, redenominasi tidak sekadar “memindahkan nol” tetapi bisa menjadi titik balik yang menegaskan bahwa Indonesia siap memasuki tahap baru dalam pengelolaan ekonomi nasional yang berdaulat, efisien, dan modern.

Peluang dan Manfaat Praktis

Jika dijalankan dengan persiapan yang matang, beberapa manfaat konkret dari redenominasi rupiah antara lain:
• Penyederhanaan operasional transaksi: Baik pedagang kecil, bisnis menengah, perusahaan besar hingga lembaga keuangan akan memperoleh kemudahan dalam penghitungan, pembukuan, penagihan dan pelaporan karena angka yang digunakan lebih kecil dan lebih “ringkas”.
• Mempercepat transformasi digital keuangan: Era pembayaran digital, QRIS, fintech, e-wallet memerlukan sistem yang cepat, akurat, dan mudah dikelola. Nominal yang terlalu besar atau banyak nol dapat memperumit proses teknis dan pengalaman pengguna. Redenominasi bisa memperlancar hal ini.
• Meningkatkan efektivitas kebijakan moneter dan fiskal: Dengan nominal yang lebih sederhana, pengukuran ekonomi makro, perencanaan anggaran, dan distribusi dana bisa menjadi lebih rasional. Juga, persepsi masyarakat tentang uang nasional sebagai “sesuatu yang penting” bisa membaik.
• Memperkuat posisi rupiah di mata global: Dalam era ekonomi terbuka, citra mata uang nasional penting untuk investasi asing dan partisipasi dalam rantai nilai global.

Redenominasi bisa menjadi sinyal bahwa Indonesia semakin solid secara ekonomi dan siap memperkuat posisinya.
Dengan demikian, bila diimplementasikan dengan tepat, redenominasi bisa memberikan “bonus” lebih dari sekadar nominal namun juga budaya moneter yang lebih matang, kepercayaan masyarakat yang diperkuat, dan posisi ekonomi nasional yang semakin dihormati.

Tantangan, Risiko, dan Persyaratan

Namun demikian, redenominasi bukanlah langkah tanpa risiko atau tanpa persyaratan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan:

• Sosialisasi yang masif dan jangka panjang
Masyarakat, pelaku usaha, lembaga keuangan dan pemerintah daerah perlu mengerti bahwa redenominasi tidak mengurangi daya beli uang, melainkan menyederhanakan nominal. Tanpa pemahaman yang baik, bisa timbul kebingungan, kekhawatiran dan praktik yang merugikan masyarakat (misalnya pembulatan harga ke atas, spekulasi).

• Penyesuaian sistem keuangan dan teknologi
Sistem perbankan, akuntansi, pembayaran digital, pencatatan keuangan, serta regulasi terkait harus diperbaharui agar kompatibel dengan denominasi baru. Biaya dan waktu yang dibutuhkan signifikan.

• Pengawasan terhadap dampak inflasi dan hargaSalah satu kekhawatiran adalah bahwa pengurangan nol bisa dimanfaatkan oleh pelaku pasar untuk menaikkan harga atau membingungkan konsumen. Jika tidak diawasi, bisa memicu inflasi atau ketidakadilan sosial.

• Kinerja makroekonomi yang mendukung
Redenominasi tidak bisa dilakukan secara prematur ketika inflasi tinggi, stabilitas ekonomi rapuh atau kepercayaan masyarakat rendah. Karena justru bisa memperburuk persepsi dan efek sampingnya. Hal ini menekankan bahwa kesiapan makro sangat penting.

• Keterkaitan dengan identitas dan komunikasi nasional
Karena redenominasi juga membawa makna simbolik, pemerintah perlu merancang narasi yang tepat: bahwa ini adalah transformasi menuju ekonomi yang berdaulat dan modern, bukan sekadar “menghapus nol” yang membuat masyarakat merasa uangnya dipotong.

Dengan memperhatikan hal-hal di atas, maka implementasi redenominasi bisa berjalan mulus dan memberikan manfaat maksimal sebaliknya, jika diabaikan, bisa menimbulkan disrupsi, ketidakpastian, dan penurunan kepercayaan.

Redenominasi dan Masa Depan Rupiah dalam Konteks Global

Di tengah arus globalisasi keuangan, perubahan geopolitik, dan keterbukaan ekonomi, redenominasi rupiah memiliki arti strategis yang lebih luas:

• Mengurangi fenomena dolarisasi
Ketika masyarakat dan pelaku usaha lebih nyaman atau “terpaksa” menggunakan mata uang asing karena persepsi bahwa rupiah kurang kredibel, maka kedaulatan moneter nasional terganggu. Dengan nominal yang lebih wajar dan rupiah yang lebih mudah digunakan, risiko ini bisa ditekan.

• Meningkatkan daya saing ASEAN dan global
Jika mata uang nasional terlihat “lebih modern” dan sistem ekonomi lebih efisien, maka Indonesia semakin kompetitif sebagai pasar, pusat investasi, dan pemain ekonomi regional. Redenominasi bisa menjadi sinyal bahwa Indonesia siap bergerak ke tahap berikutnya.

• Kesiapan digital dan ekonomi masa depan
Seiring perkembangan fintech, CBDC (central-bank digital currency), transaksi lintas negara, dan integrasi ekonomi digital antar negara, mata uang nasional harus mudah dioperasikan secara digital dan lintas sistem. Penyederhanaan nominal melalui redenominasi adalah bagian dari kesiapan tersebut.

• Mengukuhkan identitas ekonomi nasional
Dalam dunia yang semakin terhubung, tetap memiliki mata uang yang kuat dan dihormati adalah bagian dari kedaulatan nasional. Redenominasi rupiah yang berhasil adalah pernyataan bahwa Indonesia tidak hanya “mengikuti arus” tetapi menentukan jalannya sendiri.

Harapan: Simbol Baru Kedaulatan, Tantangan yang Nyata

Redenominasi rupiah, bila dilihat dari dimensi yang lebih luas, bukan hanya soal “menghapus nol” atau “mengubah angka”. Ini adalah momentum yang dapat menegaskan kembali posisi Indonesia sebagai negara yang berdaulat secara moneter, tangguh secara ekonomi, dan relevan dalam era ekonomi digital global.

Namun, untuk menjadikannya simbol yang sukses dan bermakna, pemerintah dan seluruh stakeholder, masyarakat, pelaku usaha, perbankan, lembaga keuangan harus memainkan peran secara sinergis: sosialisasi yang tepat, penyesuaian sistem yang matang, pengawasan yang kuat, dan narasi yang membangun kepercayaan.

Dengan demikian, masa depan rupiah bukan hanya diukur dari nilai tukar terhadap dolar atau angka nol di belakangnya, tetapi dari bagaimana rupiah dipakai, dipercayai, dan dihormati di meja makan rumah tangga, di pasar UMKM, di papan global transaksi keuangan.

Kalau kelak sistem redenominasi berjalan lancar dan rupiah tampil sebagai mata uang yang lebih mudah, lebih rasional, dan tetap kuat, maka kita sedang menyaksikan lahirnya simbol baru kedaulatan ekonomi bangsa bukan hanya untuk hari ini, tetapi untuk generasi mendatang.

Exit mobile version