GOWA, UJUNGJARI.COM — Kabupaten Gowa ternyata tergolong daerah yang tingkat kekerasannya (kekerasan perempuan dan anak) cukup nyata. Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak – Pengendalian Pendudukan Keluarga Berencana (DP3A Dalduk KB) Sulsel, Kabupaten Gowa masuk dalam daftar urutan kedua tertinggi kasus kekerasan perempuan dan anak di Sulsel setelah Kota Makassar.
Meski angka kekerasan di Gowa sempat menurun per Oktober 2025 menjadi 81 kasus dari 89 kasus pada tahun 2024 dan 123 kasus di tahun 2023, namun angka tersebut tetap masih tinggi dari 24 kabupaten kota se Sulsel.
Menyikapi jumlah kasus kekerasan yang masih dominan tinggi, Kadis Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Gowa Kawaidah Alham mengatakan isu kekerasan anak dan perempuan masih menjadi tantangan besar bagi semua pihak saat ini. Berbagai bentuk kasus, baik kekerasan fisik, psikis, seksual, penelantaran hingga eksploitasi memerlukan penanganan yang cepat, tepat dan terkoordinasi.
Karena itulah manajemen pelaporan kasus yang baik menjadi kunci untuk memastikan setiap korban mendapatkan haknya atas layanan perlindungan yang berkualitas.
“Kita ingin memperkuat kapasitas para pelaksana baik di tingkat daerah hingga unit layanan dalam mengidentifikasi, mencatat dan melaporkan kasus secara akurat dan terstandar. Juga menggunakan sistem pelaporan yang terintegrasi termasuk dashboard atau aplikasi yang digunakan dalam layanan. Kemudian meningkatkan koordinasi lintas sektor agar alur penanganan kasus berjalan efektif. Selain itu, memahami mekanisme KIE pemberdayaan perempuan untuk mendorong perubahan perilaku meningkatkan kesadaran masyarakat serta memperkuat ketahanan perempuan di berbagai aspek kehidupan, ” jelas Kawaidah saat membuka Bimtek Manajemen Pelaporan Kasus Kekerasan TP/A dan Pencegahan Perkawinan Anak Kabupaten Gowa di Hotel Continent Makassar pada Senin (24/11).
Dihadapan 150 peserta bimtek terdiri dari perwakilan instansi DP3A, TP PKK, DWP, Unit PPA Polres, Bhayangkari, Persit, Wahdah Islamiah, NU, Aisyiah, pelaku UMKM serta lembaga pemerhati perempuan dan anak dan lainnya, Kawaidah menyebutkan saat ini di Gowa tidak aman-aman saja. Banyak kasus kekerasan fisik maupun psikis apalagi kekerasan seksual yang kadang dilakukan lingkup orang-orang dekat sendiri.
“Mungkin kita pikir anak kita sudah aman di rumah, di sekolah, di masjid, di lingkungan sekitar. Tapi ternyata tempat-tempat ini kadang jadi ladang kekerasan bagi anak anak kita. Karena itu kami minta kepada semua pihak untuk melaporkan tindakan kekerasan anak dan perempuan kepada DP3A baik secara langsung maupun melalui aplikasi Simponi yang langsung terhubung ke Kementerian Pemberdayaan perempuan dan Perlindungan Anak, ” tandas Kadis P3A Gowa.
Dia pun berharap peserta bimtek mampu menguatkan sistem pelaporan kasus di unit kerja masing-masing serta ada sinkronisasi data dan pelaporan antara OPD, UPTD PPA, penegak hukum dan lembaga layanan lainnya.
“Kami berharap tersosialisasi dengan baik materi-materi KIE pemberdayaan perempuan sehingga dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan terbangun komitmen bersama untuk menciptakan lingkungan yang aman, ramah dan responsif terhadap perempuan dan anak, ” kata Kawaidah.
Sebelumnya Ketua Panitia Pelaksana Chaerani mengatakan, bimtek ini diikuti berbagai elemen masyarakat dan keterwakilan institusi dan organisasi perempuan.
Chaerani menyebutkan, kegiatan ini bertujuan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan praktis bagi seluruh kaum perempuan, juga mendorong terciptanya kemandirian ekonomi, membangun jaringan dan kolaborasi bagi peserta dengan pihak pemerintah dan sektor swasta.
Salah satu pemateri yakni Kadis Pemberdayaan Perempuan dan Anak Provinsi Sulsel Andi Mirnawati menyebutkan saat ini kecanggihan teknologi banyak mempengaruhi perilaku manusia.
Dan munculnya kekerasan, salah satu sumbernya adalah kecanggihan teknologi tersebut. Pengaruh gadget cenderung membuat perilaku anak jadi lain. Ada yang melawan orang tuanya, ada juga yang menjadi pelaku dan korban dari kekerasan orang lain, bahkan dari orang tuanya sendiri.
“Akibatnya, perkawinan anak jadi banyak. Pengasuhan dan pola asuh pun menjadi salah satu penyebab munculnya kekerasan itu. Kita tidak tahu anak kita bergaul dengan siapa. Pergaulan bebas melahirkan banyak kasus negatif. Kita ingat kasus tiga anak SMP ditemukan checking di hotel. Mereka berasal dari tiga sekolah berbeda. Setelah ditelurusi ternyata mereka terhubung dengan aplikasi Michat. Inilah salah satu kelemahan orang tua dalam mengawasi aktivitas anak. Tapi semua jadi dilema, sebab di satu sisi gadget dibutuhkan dan disisi lain ada efek negatifnya, ” kata Mirnawati.
Mirnawati pun menyebutkan, agar suara anak dan perempuan perlu didengar dan harus ada wadah. Salah satu wadah itu adalah Musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan).
“Di Musrenbang harus ada suara perempuan dan anak sebab mereka punya hak untuk bersuara. Aspirasi mereka harus didengar dan harus tertuang dalam Musrenbang itu. Selain itu, dalam keluarga perlu ada benteng kuat dalam pengawasan dan mendidik yakni orang tua. Tapi banyak pula kasus dimana orang tua yang justru menjadi pelaku kekerasan terhadap anak-anaknya. Karena kecanggihan teknologi, wajah jelek bisa jadi cantik atau tampan. Sehingga bisa membuat munculnya masalah. Salah satunya, anak kita tergoda buaian dan bujukan orang yang terlihat tampan di medsos, ternyata itu adalah aplikasi yang kemudian membuat anak kita terpengaruh ke hal-hal negatif, ” papar Mirnawati.
Mirnawati mengatakan, perkawinan anak justru berdampak pada peningkatan angka masalah lainnya. Dampaknya adalah kehamilan berisiko, kematian ibu dan anak, kekerasan seksual dalam rumah tangga, stunting serta kemiskinan.
“Perkawinan anak menimbulkan masalah lainnya, baik kesehatan, ekonomi, dan juga masalah sosial. Dan untuk mencegahnya, dibutuhkan intervensi yang melibatkan seluruh unsur terkait, yaitu keluarga dan masyarakat, pemerintah daerah, sekolah, dan perubahan perilaku. Keberhasilan pencegahan dan penanganan juga dipengaruhi oleh SOP. Penanganan yang tepat dan perlindungan hak-hak korban,” kata Mirnawati. –
