MAKASSAR, UJUNGJARI.COM — Gelombang tekanan dalam pemilihan RT/RW di Kota Makassar semakin terasa berat di tingkat kelurahan. Alih-alih menjadi proses demokrasi paling dekat dengan warga, pemilihan RT/RW justru diduga berubah menjadi arena intervensi kelompok tertentu yang disebut memiliki kedekatan dengan lingkar kekuasaan pejabat kota.
Para lurah yang terlibat dalam proses pemilihan menyebut diri mereka sebagai “tumbal politik”, karena berada di garis depan antara aturan pemerintahan dan tekanan kepentingan kelompok kuat.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tekanan Menguat: Lurah Dipaksa Menangkan Calon Titipan
Sejumlah lurah yang enggan disebut namanya mengungkap bahwa mereka didesak untuk memastikan kemenangan calon titipan, bahkan dengan target spesifik minimal 80 persen suara.
Tekanan itu, menurut mereka, tidak lagi bersifat samar. Instruksi tidak resmi, pesan pribadi, hingga perintah terselubung dari oknum yang mengatasnamakan diri sebagai “tim dekat penguasa”, disebut telah masuk ke ruang kerja para lurah.
“Ini bukan sekadar arahan. Kami diminta memenangkan nama tertentu. Bahkan angka kemenangan pun sudah ditentukan,” ungkap salah satu lurah yang ditemui media ini.
Dilema di Tingkat Kelurahan: Aturan vs Kekuasaan
Situasi para lurah disebut menyerupai tekanan berlapis. Jika menjalankan pemilihan sesuai Perwali dan transparansi, mereka menghadapi risiko dimusuhi kelompok tertentu.
Jika mengikuti instruksi titipan, mereka berpotensi melanggar aturan dan merusak integritas jabatan.
“Kami sedang berdiri di dua jurang. Menegakkan aturan atau mengikuti tekanan. Dua-duanya punya risiko,” ujar seorang lurah lainnya.
Beberapa lurah bahkan mengaku diarahkan untuk mengatur panitia, pendataan pemilih, hingga rekayasa kondisi lapangan agar keberpihakan terhadap calon tertentu semakin kuat.
Pengamat: Ini Bukan Sekadar Dinamika, Ini Alarm Bahaya Demokrasi
Pengamat pemerintahan lokal, Dr. Arfan Rahman, menegaskan bahwa fenomena ini merupakan indikasi serius rusaknya mekanisme demokrasi paling dasar.
“RT/RW adalah struktur yang bersentuhan langsung dengan warga. Jika prosesnya dipolitisasi dan ditekan, ini bukan hanya masalah administrasi, ini pembajakan demokrasi,” tegasnya.
Pemerhati kebijakan publik, Nurhaliza Samad, menyebut target 80 persen sebagai sinyal adanya dugaan mobilisasi kekuasaan secara sistematis.
“Tidak ada target kemenangan dalam pemilihan warga jika prosesnya murni alami. Kalau ada target angka, itu artinya ada upaya pengondisian,” katanya.
Warga Mulai Melawan
Situasi panas di sejumlah kelurahan mulai memunculkan gelombang protes warga berupa petisi penolakan, desakan anulir calon, hingga permintaan transparansi kepada lurah dan panitia pemilihan.
Di beberapa wilayah, warga menilai pemilihan telah kehilangan kredibilitasnya karena terlalu banyak campur tangan dari pihak yang tidak semestinya.
Para lurah berharap Pemerintah Kota Makassar mengambil langkah tegas untuk menghentikan intervensi dan memastikan pemilihan RT/RW berjalan jujur, bukan menjadi ruang permainan kelompok tertentu.
“Kami hanya ingin bekerja sesuai aturan. Tekanan ini sudah melampaui batas. Demokrasi di tingkat bawah tidak boleh jadi korban,” tegas seorang lurah.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan resmi dari Pemkot Makassar. (drw)


