Oleh: Arifai Ilyas
Dosen STIE Bulungan Tarakan
Ketua DPW Asosiasi Dosen Indonesia Kalimantan Utara
Sekretaris ISEI Cabang Tarakan Koordinator Kalimantan Utara
PEMASARAN sering kali dipersepsikan sebagai seni memengaruhi orang untuk membeli sesuatu bahkan ketika mereka belum tentu membutuhkannya. Dalam praktiknya, orientasi pemasaran kerap terjebak pada angka: target penjualan, pangsa pasar, click-through rate, engagement rate, dan metrik lain yang memanjakan laporan keuangan. Namun, di balik deretan angka tersebut, ada realitas yang tak kalah penting: manusia sebagai subjek dan tujuan pemasaran itu sendiri.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Filsafat pemasaran humanis hadir sebagai sebuah lensa baru untuk melihat kembali hakikat pemasaran. Ia menegaskan bahwa pemasaran bukan sekadar proses transaksi, melainkan interaksi bermakna antara produsen dan konsumen, yang dilandasi penghargaan terhadap nilainilai kemanusiaan. Di tengah arus digitalisasi dan persaingan tanpa batas, filsafat ini menjadi relevan, terutama bagi Indonesia yang berakar pada budaya gotong royong dan kepercayaan sosial.
Mengapa Humanisme dalam Pemasaran Penting
Di Indonesia, perkembangan teknologi pemasaran digital begitu cepat. Platform e-commerce, media sosial, influencer marketing, dan iklan berbasis algoritma telah mengubah pola interaksi antara penjual dan pembeli. Namun, percepatan ini membawa konsekuensi: hubungan personal mulai tereduksi, etika kadang terabaikan, dan konsumen sering diperlakukan hanya sebagai “target market” atau “traffic” belaka.
Filsafat pemasaran humanis mengembalikan fokus pada tiga prinsip utama:
1. Menghargai martabat manusia ; Konsumen bukan sekadar objek iklan, tetapi individu dengan kebutuhan, aspirasi, dan hak untuk membuat pilihan yang sadar.
2. Membangun hubungan jangka panjang ; Kepercayaan dan loyalitas lahir dari interaksi yang tulus, bukan dari kampanye penjualan sesaat.
3. Mengutamakan keberlanjutan sosial ; Pemasaran tidak boleh hanya memikirkan keuntungan, tetapi juga dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan.
Prinsip-prinsip ini sangat selaras dengan falsafah Pancasila, terutama sila kedua dan kelima, yang menekankan kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pemasaran dan Peradaban: Perspektif Filosofis
Sejarah menunjukkan bahwa aktivitas perdagangan dan pemasaran selalu menjadi bagian dari peradaban. Di pasar tradisional Nusantara, proses jual beli tidak hanya soal harga, tetapi juga soal interaksi sosial. Penjual mengenal pembelinya, pembeli percaya pada kualitas produk, dan proses tawar-menawar menjadi bagian dari hubungan manusia.
Dalam perspektif filsafat, pemasaran bisa dilihat melalui lensa Aristoteles yang menekankan ethos (karakter), pathos (emosi), dan logos (logika). Pemasaran humanis tidak mengabaikan logika bisnis, tetapi mengimbanginya dengan etika dan empati.
Sementara itu, dalam pandangan filsuf modern seperti Immanuel Kant, manusia tidak boleh dijadikan sekadar alat
(means to an end), melainkan tujuan pada dirinya sendiri. Prinsip ini sangat relevan bagi dunia pemasaran masa kini.
Tantangan di Era Digital
Pemasaran modern di Indonesia semakin bergantung pada data dan algoritma. Di satu sisi, ini memungkinkan personalisasi yang lebih tepat sasaran. Di sisi lain, muncul risiko manipulasi psikologis melalui dark patterns, clickbait, dan penyebaran informasi yang menyesatkan. Contoh kasusnya, tidak sedikit kampanye pemasaran yang sengaja menciptakan rasa takut (fear of missing out atau FOMO) untuk memicu pembelian impulsif. Atau promosi flash sale yang menggiring konsumen membeli barang yang tidak mereka butuhkan. Praktik semacam ini mungkin meningkatkan angka penjualan jangka pendek, tetapi merusak hubungan jangka panjang dan mengikis kepercayaan.
Di sinilah filsafat pemasaran humanis menjadi penting: ia menuntut transparansi, kejujuran, dan penghormatan terhadap kebebasan konsumen untuk membuat keputusan yang rasional.
Prinsip-Prinsip Pemasaran Humanis
Berikut lima prinsip utama yang dapat menjadi panduan praktis bagi pelaku usaha di Indonesia:
1. Transparansi Informasi
Konsumen berhak mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan lengkap tentang produk atau jasa. Hindari klaim yang dilebih-lebihkan atau manipulatif.
2. Empati terhadap Kebutuhan Konsumen
Pahami konteks sosial, budaya, dan ekonomi konsumen. Produk dan strategi pemasaran harus relevan dengan kehidupan nyata mereka.
3. Nilai di Atas Harga
Fokus pada manfaat dan nilai yang diberikan produk, bukan sekadar pada diskon atau gimmick promosi.
4. Hubungan yang Berkesinambungan
Gunakan pemasaran untuk membangun hubungan jangka panjang, bukan hanya penjualan sesaat. Customer lifetime value lebih penting daripada single transaction
profit.
5. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
Pemasaran harus sejalan dengan prinsip keberlanjutan. Jangan mendorong konsumsi yang merusak lingkungan atau memicu perilaku konsumtif berlebihan.
Relevansi untuk UKM Indonesia
Bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM), penerapan filsafat pemasaran humanis bukan hanya idealisme, tetapi juga strategi bisnis yang efektif. UKM biasanya memiliki keunggulan kedekatan personal dengan konsumen. Kepercayaan yang dibangun dari interaksi langsung dapat menjadi modal sosial yang sulit disaingi perusahaan besar.
Contohnya, pedagang kopi lokal yang mengenal pelanggan tetapnya secara pribadi cenderung lebih berhasil mempertahankan loyalitas daripada kafe waralaba yang hanya mengandalkan program poin. Dalam konteks digital, UKM yang mengelola akun media sosialnya dengan sentuhan personal menjawab komentar dengan hangat, berbagi cerita di balik produk akan lebih mudah membangun keterikatan emosional.
Penerapan di Sektor Korporasi
Bagi korporasi besar, tantangan pemasaran humanis adalah skala. Hubungan personal sulit dijaga ketika konsumen berjumlah jutaan. Namun, teknologi juga bisa digunakan untuk memperkuat pendekatan humanis, misalnya melalui layanan pelanggan berbasis chatbot yang ramah dan personal, kampanye yang mendukung gerakan sosial, atau keterlibatan langsung manajemen dalam program community engagement.
Korporasi juga dapat mengintegrasikan Corporate Social Responsibility (CSR) ke dalam strategi pemasaran, bukan hanya sebagai kewajiban hukum, tetapi sebagai cerminan nilai perusahaan. Misalnya, kampanye produk ramah lingkungan yang diikuti dengan komitmen nyata mengurangi emisi dan limbah produksi.
Regulasi dan Kebijakan Publik
Di Indonesia, perlindungan konsumen diatur oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1999. Namun, regulasi saja tidak cukup jika pelaku usaha tidak memiliki kesadaran etis. Pemerintah dapat mendorong penerapan pemasaran humanis melalui:
• Insentif bagi usaha yang menjalankan kampanye/promosi pemasaran beretika dan berkelanjutan.
• Edukasi publik tentang hak-hak konsumen.
• Kolaborasi dengan platform digital untuk mengurangi iklan yang menyesatkan.
Langkah ini penting untuk menciptakan ekosistem pasar yang sehat dan berkeadilan.Filsafat Pemasaran Humanis sebagai Keunggulan Kompetitif. Mengutamakan manusia di atas angka bukan berarti mengabaikan keuntungan. Justru
sebaliknya, pemasaran humanis dapat menciptakan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Konsumen yang merasa dihargai dan diperlakukan dengan adil cenderung menjadi pelanggan setia, memberikan rekomendasi positif, dan membela merek saat menghadapi krisis.
Riset Harvard Business Review menunjukkan bahwa perusahaan yang fokus pada customer experience dan nilai jangka panjang memperoleh pertumbuhan pendapatan lebih tinggi dibandingkan yang hanya fokus pada penjualan. Ini membuktikan bahwa etika dan profit tidak harus saling bertentangan.
Harapan: Menjual dengan Hati, Membangun Peradaban
Indonesia sedang berada di persimpangan jalan antara pertumbuhan ekonomi berbasis konsumsi dan tantangan keberlanjutan sosial-lingkungan. Dalam situasi ini, filsafat pemasaran humanis dapat menjadi panduan moral sekaligus strategi bisnis.
Pemasaran yang mengutamakan manusia di atas angka adalah pemasaran yang menempatkan konsumen sebagai mitra, bukan sasaran; yang menghargai kepercayaan lebih dari sekadar transaksi; yang memahami bahwa di balik setiap angka penjualan ada wajah, cerita, dan harapan.
Jika pelaku usaha, baik UKM maupun korporasi, mau menerapkan prinsip ini, maka kita tidak hanya membangun pasar yang sehat, tetapi juga peradaban yang lebih adil, beradab, dan berkelanjutan. Dan pada akhirnya, itulah tujuan sejati dari setiap aktivitas ekonomi bukan sekadar mencetak angka di neraca, tetapi mencetak kebaikan di hati manusia.


