Oleh: Arifai Ilyas
Dosen STIE Bulungan Tarakan
Ketua DPW Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Kalimantan Utara
Sekretaris Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Tarakan Koordinator Kalimantan Utara

DALAM pidato-pidato kenegaraannya, Presiden Prabowo Subianto memperkenalkan sebuah istilah yang unik sekaligus penuh makna: serakahnomics. Istilah ini merupakan gabungan dari kata “serakah” dan “economics” yang dimaksudkan sebagai kritik terhadap praktik ekonomi yang hanya digerakkan oleh keserakahan individu maupun korporasi tanpa memperhatikan kepentingan kolektif, keadilan sosial, serta keberlanjutan. Serakahnomics menjadi wajah dari sistem ekonomi yang menekankan akumulasi modal dan keuntungan semata, di mana ketimpangan dianggap sebagai konsekuensi wajar, dan eksploitasi sumber daya sering kali dilegitimasi atas nama pertumbuhan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Di sisi lain, Indonesia sesungguhnya memiliki warisan nilai ekonomi yang berakar dalam: ekonomi gotong royong. Konsep ini tidak hanya sebatas jargon, melainkan filosofi yang lahir dari pengalaman kolektif bangsa, termanifestasi dalam praktik sosial sehari-hari masyarakat desa hingga perumusan konstitusi ekonomi dalam Pasal 33 UUD 1945. Ekonomi gotong royong berorientasi pada kebersamaan, solidaritas, dan keseimbangan antara kepentingan
individu dengan kepentingan bersama.

Tulisan ini akan membandingkan kedua pendekatan tersebut, sekaligus merefleksikan bagaimana bangsa Indonesia dapat memilih jalan yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan di tengah tantangan globalisasi, disrupsi teknologi, serta krisis multidimensi yang kini melanda.

Serakahnomics: Wajah Gelap Kapitalisme Global

Istilah serakahnomics merefleksikan realitas sistem ekonomi dunia yang didominasi kapitalisme liberal. Dalam praktiknya, kapitalisme modern sering kali didorong oleh logika akumulasi tanpa batas. Perusahaan besar mengejar keuntungan jangka pendek, terkadang dengan mengorbankan hak-hak pekerja, mengabaikan keberlanjutan lingkungan, dan
memperlebar jurang ketimpangan.

Fenomena serakahnomics tampak nyata dalam beberapa hal:

1. Kesenjangan Ekonomi yang Kian Melebar
Data global menunjukkan bahwa 1% populasi terkaya menguasai lebih dari separuh kekayaan dunia. Sementara itu, ratusan juta orang masih hidup dalam kemiskinan ekstrem. Di Indonesia, meski angka kemiskinan menurun, ketimpangan distribusi kekayaan tetap menjadi problem serius.

2. Eksploitasi Lingkungan
Serakahnomics mendorong eksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan. Deforestasi, pencemaran laut, dan krisis iklim adalah konsekuensi langsung dari model ekonomi yang hanya menghitung keuntungan
material, bukan biaya sosial dan ekologis.

3. Krisis Kemanusiaan dan Sosial
Deregulasi dan liberalisasi berlebihan menyebabkan melemahnya perlindungan sosial. Akibatnya, kelompok rentan semakin terpinggirkan, sementara kekuasaan ekonomi terkonsentrasi pada segelintir oligarki.

4. Konsumerisme Tak Berbatas
Serakahnomics menciptakan budaya konsumsi yang berlebihan. Individu didorong untuk membeli lebih banyak barang demi memuaskan hasrat status sosial, meskipun hal tersebut menimbulkan masalah sampah, utang, dan degradasi moral.
Dengan kata lain, serakahnomics adalah wajah ekonomi yang kehilangan dimensi etika.

Ekonomi hanya dilihat sebagai mesin produksi angka pertumbuhan, padahal semestinya menjadi sarana untuk menyejahterakan manusia secara menyeluruh.

Ekonomi Gotong Royong: Warisan dan Jalan Tengah Indonesia

Berbeda dengan serakahnomics, ekonomi gotong royong menempatkan manusia dan kebersamaan sebagai pusat. Konsep ini lahir dari budaya kolektif bangsa, tercermin dalam praktik arisan, kerja bakti, lumbung desa, hingga koperasi. Bung Hatta, Bapak Koperasi Indonesia, menegaskan bahwa koperasi adalah wujud konkret ekonomi gotong royong yang
mampu menjadi alternatif dari kapitalisme yang menindas dan sosialisme yang menafikan inisiatif individu.

Ekonomi gotong royong memiliki beberapa prinsip utama:

1. Kebersamaan dan Solidaritas
Setiap individu bekerja bukan hanya untuk kepentingan pribadi, melainkan juga untuk kepentingan kolektif. Gotong royong memungkinkan distribusi manfaat yang lebih adil.

2. Demokrasi Ekonomi
Sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Sumber daya strategis dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

3. Keadilan Sosial
Ekonomi gotong royong menolak kesenjangan ekstrem. Kesejahteraan masyarakat luas lebih diutamakan ketimbang akumulasi kekayaan segelintir orang.

4. Keberlanjutan
Karena berlandaskan kebersamaan, ekonomi gotong royong cenderung memperhatikan keseimbangan jangka panjang, termasuk kelestarian lingkungan dan keberlangsungan generasi berikutnya.

5. Pemberdayaan UMKM dan Koperasi
Ekonomi gotong royong menempatkan UMKM serta koperasi sebagai tulang punggung. Mereka bukan sekadar pelengkap, melainkan pilar utama kemandirian ekonomi bangsa.

Dengan prinsip tersebut, ekonomi gotong royong menjadi jalan tengah yang khas Indonesia— bukan menyalin kapitalisme Barat, bukan pula mengadopsi sosialisme total, melainkan mengakar pada nilai luhur bangsa.

Pertarungan Dua Paradigma

Konfrontasi antara serakahnomics dan ekonomi gotong royong bukan sekadar teori, melainkan realitas sehari-hari dalam pengambilan kebijakan. Misalnya, ketika pemerintah harus memutuskan antara memberi konsesi besar-besaran kepada korporasi tambang atau memberdayakan masyarakat lokal melalui koperasi pertambangan.

Dalam sektor pangan, pilihan itu tampak jelas. Serakahnomics melahirkan monopoli impor dan dominasi perusahaan besar dalam rantai pasok. Sebaliknya, ekonomi gotong royong mendorong kedaulatan pangan melalui pemberdayaan petani kecil, distribusi lahan yang adil, dan sistem distribusi berbasis koperasi.

Dalam sektor digital, serakahnomics tampak dalam dominasi platform global raksasa yang menghisap data sekaligus keuntungan dari jutaan pengguna lokal tanpa kontribusi signifikan pada pajak atau pemberdayaan. Ekonomi gotong royong justru mendorong lahirnya ekosistem digital lokal berbasis UMKM, start-up nasional, dan kolaborasi komunitas.

Dengan kata lain, pilihan antara dua paradigma ini bukan sekadar teknokratis, tetapi menyangkut arah peradaban bangsa: apakah kita akan tunduk pada logika keserakahan atau membangun ekonomi berbasis kebersamaan.

Tantangan Implementasi Ekonomi Gotong Royong

Meski ideal, ekonomi gotong royong menghadapi sejumlah tantangan:
1. Budaya Individualisme yang Meningkat
Arus globalisasi dan digitalisasi memperkuat nilai individualistik, sehingga semangat kolektif cenderung memudar.
2. Lemahnya Kelembagaan Koperasi
Banyak koperasi hanya menjadi formalitas tanpa pengelolaan profesional. Akibatnya, koperasi sulit bersaing dengan korporasi besar.
3. Korupsi dan Oligarki Politik
Intervensi kepentingan politik dan ekonomi sering menghambat tumbuhnya sistem yang benar-benar berlandaskan gotong royong.
4. Kurangnya Inovasi dan Adaptasi Teknologi
Tanpa transformasi digital, ekonomi gotong royong akan tertinggal di tengah revolusi industri 4.0. Namun tantangan ini bukan alasan untuk menyerah. Justru, di sinilah pentingnya peran negara, akademisi, dan masyarakat sipil untuk memperkuat fondasi ekonomi gotong royong.

Jalan ke Depan: Menyatukan Etika dan Efisiensi

Dalam menghadapi serakahnomics, bangsa Indonesia tidak bisa hanya bernostalgia dengan jargon gotong royong. Diperlukan langkah konkret untuk membumikan nilai tersebut dalam kebijakan dan praktik ekonomi sehari-hari. Beberapa strategi yang dapat ditempuh antara lain:

1. Reformasi Kebijakan Ekonomi
Pemerintah harus memastikan regulasi yang berpihak pada rakyat kecil. Misalnya, memperkuat peran koperasi dan UMKM dalam rantai pasok nasional serta membatasi dominasi oligopoli.

2. Digitalisasi Koperasi dan UMKM
Ekonomi gotong royong harus memasuki ruang digital. Platform koperasi digital dapat menjadi alternatif dari dominasi raksasa e-commerce asing.

3. Pendidikan Ekonomi Gotong Royong
Nilai kebersamaan harus ditanamkan sejak dini melalui pendidikan formal maupun nonformal. Masyarakat perlu sadar bahwa kesejahteraan bersama lebih penting daripada keuntungan individual semata.

4. Penguatan Tata Kelola
Transparansi dan akuntabilitas mutlak diperlukan agar lembaga gotong royong, terutama koperasi, tidak terjebak dalam praktik korupsi.

5. Ekonomi Hijau dan Berkelanjutan
Ekonomi gotong royong harus menjadi fondasi pembangunan berkelanjutan. Ini berarti memadukan nilai solidaritas dengan agenda transisi energi bersih, pelestarian lingkungan, dan pengurangan emisi karbon.

Harapan: Memilih Jalan Peradaban

Pertarungan antara ekonomi gotong royong dan serakahnomics pada akhirnya adalah pertarungan tentang nilai. Apakah ekonomi akan diposisikan sebagai instrumen untuk memperkaya segelintir orang atau sebagai sarana untuk membangun kesejahteraan kolektif?

Indonesia memiliki modal sosial, budaya, dan konstitusi yang kuat untuk memilih jalan gotong royong. Namun, pilihan ini tidak akan otomatis terwujud tanpa komitmen politik yang kuat, kesadaran masyarakat, dan inovasi kelembagaan.

Serakahnomics mungkin menawarkan pertumbuhan cepat, tetapi dengan biaya sosial dan ekologis yang mahal. Sebaliknya, ekonomi gotong royong mungkin bergerak lebih lambat, namun menjanjikan keberlanjutan dan keadilan.

Di tengah krisis global yang ditandai oleh ketimpangan, krisis iklim, dan keresahan sosial, dunia menantikan model alternatif. Indonesia dengan konsep ekonomi gotong royong memiliki kesempatan untuk tampil sebagai pelopor.

Sejarah bangsa ini lahir dari gotong royong. Masa depan pun hanya bisa dibangun dengan nilai yang sama. Sebab, pada akhirnya, keserakahan hanya menghasilkan kehancuran, sementara kebersamaan melahirkan keberlangsungan.