Oleh: Arifai Ilyas
Dosen STIE Bulungan Tarakan
Ketua DPW Asosiasi Dosen Indonesia Kalimantan Utara
Sekretaris ISEI Cabang Tarakan Koordinator Kalimantan Utara

DI tengah derasnya arus individualisme dan komersialisasi dalam kehidupan modern, nilai￾nilai luhur bangsa Indonesia seperti gotong royong sering kali terlupakan atau hanya menjadi jargon belaka. Padahal, gotong royong bukan sekadar budaya, tetapi kekuatan sosial yang telah mengakar dan terbukti menjadi fondasi ketangguhan bangsa dalam menghadapi berbagai krisis.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pertanyaannya kini adalah: bagaimana nilai ini bisa dihidupkan kembali dan diadaptasi dalam konteks kekinian, khususnya dalam dunia organisasi nir laba yang bergelut dengan isu￾isu sosial, kemanusiaan, dan lingkungan?

Salah satu jawabannya adalah melalui pemasaran nir laba (nonprofit marketing). Dalam ranah ini, gotong royong dapat diartikulasikan sebagai strategi kolaboratif yang berfokus pada partisipasi masyarakat, keterlibatan pemangku kepentingan, dan pembangunan hubungan jangka panjang berbasis empati dan nilai bersama.

Tulisan ini hendak mengurai bagaimana pemasaran nir laba di Indonesia dapat dan seharusnya menjadi sarana untuk menghidupkan kembali semangat gotong royong dalam konteks sosial yang terus berkembang.

Memahami Pemasaran Nir Laba: Bukan Sekadar Promosi

Pemasaran sering kali dikaitkan dengan penjualan produk atau jasa demi keuntungan. Namun dalam konteks nir laba, pemasaran memiliki makna yang lebih luas dan lebih dalam. Pemasaran nir laba adalah proses strategis untuk membangun kesadaran, mengomunikasikan nilai, dan menggerakkan aksi dari masyarakat luas untuk mendukung suatu tujuan sosial atau kemanusiaan. Tujuannya bukan profit, tetapi dampak sosial.

Organisasi nir laba tidak menjual produk dalam arti konvensional, tetapi menjual ide, nilai, misi, dan ajakan untuk peduli. Mereka tidak memiliki anggaran besar seperti korporasi, tapi memiliki potensi besar untuk menyentuh hati dan menggugah empati publik. Di sinilah seni pemasaran nir laba berperan—memadukan narasi, nilai, dan strategi komunikasi untuk menggalang dukungan yang tulus.

Dalam praktiknya, pemasaran nir laba di Indonesia masih sering dipahami secara sempit: sekadar kampanye donasi atau ajakan berbagi. Padahal, pemasaran nir laba seharusnya membangun ekosistem kolaboratif, mendorong keterlibatan berkelanjutan, dan menanamkan nilai-nilai seperti gotong royong secara strategis.

Gotong Royong sebagai Fondasi Pemasaran Nir Laba

Gotong royong adalah konsep kolektif khas Indonesia yang melampaui makna kerja bakti. Ia mencerminkan filosofi kehidupan bersama, tolong-menolong tanpa pamrih, dan komitmen untuk menciptakan kebaikan bersama. Dalam konteks pemasaran nir laba, gotong royong bisa dimaknai sebagai:
• Partisipasi aktif masyarakat dalam mendukung misi organisasi, tidak hanya dengan donasi, tetapi juga tenaga, pikiran, jejaring, dan waktu.
• Kolaborasi lintas sektor antara organisasi masyarakat sipil, pemerintah, swasta, media, dan komunitas akar rumput.
• Kepercayaan dan keterbukaan sebagai fondasi relasi antara organisasi dan pendukungnya, yang dibangun melalui transparansi dan akuntabilitas.

Dengan mengintegrasikan semangat gotong royong, organisasi nir laba dapat merancang strategi pemasaran yang tidak bersifat transaksional, tetapi transformatif. Strategi ini tidak hanya mencari “dukungan satu kali”, tetapi membangun keterikatan jangka panjang yang berbasis pada kepercayaan dan nilai bersama.

Penerapan Nyata: Dari Narasi ke Aksi

Ada sejumlah pendekatan konkret yang bisa dilakukan organisasi nir laba di Indonesia untuk menjadikan pemasaran mereka sebagai penggerak gotong royong:

1. Storytelling yang Menggugah

Cerita adalah alat yang ampuh dalam menyentuh emosi dan memobilisasi empati. Organisasi nir laba dapat membangun narasi yang menunjukkan perubahan nyata dari partisipasi masyarakat. Kisah-kisah tentang warga desa yang membangun jembatan bersama, komunitas yang menjaga hutan adat, atau anak-anak yang terbantu karena beasiswa, bisa menjadi magnet untuk memperluas jejaring dukungan.

Namun, penting untuk menghindari eksploitasi penderitaan atau menjadikan “kemiskinan sebagai komoditas”. Narasi harus disampaikan dengan bermartabat, menunjukkan kekuatan komunitas, bukan hanya kelemahannya.

2. Kampanye/Promosi Kolaboratif

Alih-alih bekerja sendiri, organisasi nir laba bisa mengajak berbagai pihak—komunitas lokal, UMKM, influencer, bahkan sektor swasta untuk terlibat dalam kampanye/promosi sosial. Misalnya, gerakan pengurangan sampah plastik bisa dikaitkan dengan promosi produk ramah lingkungan oleh pelaku usaha lokal. Kolaborasi ini memperluas jangkauan sekaligus menguatkan rasa kepemilikan bersama.

Kolaborasi juga bisa berupa aksi gotong royong digital, seperti penggalangan dana bersama lintas organisasi atau kampanye/promosi edukasi melalui media sosial yang dikelola bareng oleh para pegiat muda.

3. Digitalisasi Partisipatif

Teknologi digital membuka peluang besar untuk memperluas semangat gotong royong ke ruang-ruang virtual. Platform crowdfunding, aplikasi relawan digital, dan media sosial bisa menjadi jembatan antara organisasi dan masyarakat.
Misalnya, kampanye #BantuTetangga di masa pandemi membuktikan bahwa solidaritas sosial bisa diaktivasi melalui kanal digital. Yang dibutuhkan bukan hanya teknologi, tetapi pendekatan partisipatif yang mengajak masyarakat sebagai bagian dari solusi, bukan hanya objek pertolongan.

4. Transparansi dan Akuntabilitas

Kepercayaan adalah mata uang utama dalam pemasaran nir laba. Untuk itu, organisasi harus transparan dalam pelaporan penggunaan dana, capaian program, dan tantangan yang dihadapi. Teknologi dapat dimanfaatkan untuk menyajikan laporan visual yang mudah dipahami dan dibagikan.

Dengan cara ini, publik merasa dihargai dan percaya bahwa dukungannya berkontribusi nyata. Hal ini akan memperkuat relasi emosional dan memperbesar kemungkinan dukungan berkelanjutan.

Tantangan dan Peluang

Tentu saja, membangun strategi pemasaran berbasis gotong royong bukan tanpa tantangan. Beberapa di antaranya:
• Rendahnya literasi pemasaran di kalangan pengelola organisasi sosial, sehingga kampanye/promosi seringkali tidak terencana dengan baik.
• Keterbatasan sumber daya manusia dan dana, yang membuat organisasi sulit mengelola kampanye/promosi secara profesional.
• Persaingan perhatian di era media sosial, di mana isu sosial bersaing dengan konten hiburan dan viralitas.
Namun, di balik tantangan ini tersimpan peluang besar:
• Generasi muda Indonesia menunjukkan kepedulian tinggi terhadap isu-isu sosial dan lingkungan, dan mereka aktif di ruang digital.
• Keterbukaan masyarakat terhadap gotong royong masih tinggi, apalagi saat terjadi bencana atau krisis kemanusiaan.
• Meningkatnya kesadaran akan pentingnya dampak sosial di kalangan bisnis, membuka peluang kemitraan strategis antara sektor swasta dan organisasi nir laba.

Menuju Ekosistem Sosial yang Berdaya

Untuk benar-benar menghidupkan gotong royong lewat pemasaran nir laba, diperlukan pendekatan yang menyeluruh:
1. Penguatan kapasitas organisasi sosial, baik dalam hal komunikasi, pengelolaan data, maupun pengukuran dampak.
2. Kebijakan publik yang mendukung, seperti insentif bagi kolaborasi sektor swasta dan organisasi nir laba, atau regulasi yang melindungi filantropi digital.
3. Literasi publik yang lebih baik, agar masyarakat tidak hanya menjadi “penyumbang dadakan”, tetapi mitra aktif dalam perubahan sosial.

Gotong royong bukan milik masa lalu. Ia bisa menjadi fondasi masa depan, asalkan mampu dimaknai ulang dalam strategi yang relevan, berkelanjutan, dan partisipatif. Di sinilah pemasaran nir laba memiliki peran penting bukan sekadar mengajak orang memberi, tapi mengajak mereka merasa terlibat dan menjadi bagian dari perubahan itu sendiri.

Harapan

Pemasaran nir laba bukanlah upaya menjual belas kasihan, melainkan seni membangun koneksi, kepercayaan, dan komitmen sosial. Dalam konteks Indonesia, pemasaran ini akan menjadi jauh lebih kuat jika berakar pada nilai-nilai lokal seperti gotong royong.

Menghidupkan gotong royong lewat pemasaran nir laba berarti membangun narasi yang menyatukan, strategi yang melibatkan, dan aksi yang menggerakkan. Ia bukan tentang siapa yang paling banyak memberi, tetapi tentang bagaimana kita saling menguatkan.

Dengan pendekatan yang tepat, pemasaran nir laba bisa menjadi alat perubahan sosial yang tidak hanya efektif, tetapi juga bermartabat membuktikan bahwa semangat gotong royong tak lekang oleh zaman, bahkan semakin relevan di tengah dunia yang terfragmentasi.