Oleh: Arifai Ilyas
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Manajemen FEB Unhas
KEMISKINAN ekstrem adalah wajah paling tragis dari ketimpangan sosial-ekonomi yang masih mengakar di berbagai wilayah Indonesia. Dalam konteks pembangunan yang inklusif, keberadaan masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan ekstrem mencerminkan kegagalan sistem untuk merangkul semua warga negara secara adil. Oleh sebab itu, penghapusan kemiskinan ekstrem tidak boleh dilihat sebagai beban sosial semata, melainkan sebagai agenda strategis nasional yang menyangkut martabat bangsa dan hak dasar manusia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemerintah Indonesia terus menunjukkan komitmen kuat terhadap pengentasan kemiskinan, terutama kemiskinan ekstrem, melalui berbagai kebijakan afirmatif. Salah satu bentuk konkret terbaru dari komitmen ini adalah diterbitkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2025 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Pengentasan Kemiskinan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.
Instruksi ini menekankan pentingnya konvergensi program, optimalisasi pelaksanaan di semua tingkatan pemerintahan, serta memperkuat kolaborasi multisektor sebagai strategi kunci.
Mengapa Kolaborasi Multisektor Sangat Krusial?
Kemiskinan ekstrem bukan sekadar kondisi ekonomi yang rendah, tetapi lebih dari itu, merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor struktural seperti minimnya akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, air bersih, sanitasi, pekerjaan layak, dan perlindungan sosial. Oleh karena itu, solusi untuk kemiskinan ekstrem tidak bisa bersifat sektoral, parsial, atau birokratis semata.
Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2025 secara gamblang menegaskan bahwa penghapusan kemiskinan ekstrem harus dilakukan melalui pendekatan kolaboratif yang melibatkan lintas kementerian dan lembaga, pemerintah daerah, sektor swasta, organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan partisipasi aktif masyarakat.
Dengan kata lain, instruksi ini menyadari bahwa pemerintah tidak dapat berjalan sendiri. Yang dibutuhkan adalah orkestrasi semua potensi bangsa dalam satu irama yang seirama dan saling melengkapi.
Isi Strategis Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2025
Instruksi Presiden ini mencakup sejumlah arahan penting, antara lain:
1.Penguatan Data Terpadu melalui pemutakhiran dan pemanfaatan data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) sebagai basis intervensi yang tepat sasaran.
2.Konvergensi Program dan Anggaran antar kementerian/lembaga untuk menghindari tumpang tindih dan meningkatkan efisiensi penggunaan anggaran.
3.Pemberdayaan Pemerintah Daerah dalam merancang intervensi berbasis lokalitas dengan pelibatan aktor non-pemerintah.
4.Optimalisasi Kemitraan dengan Sektor Swasta dan pelibatan CSR, investasi berdampak sosial, serta program tanggung jawab lingkungan.
5.Penguatan Partisipasi Masyarakat dan Organisasi Sipil dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program.
Kelima arahan ini merupakan panggilan untuk membangun kolaborasi multisektor secara nyata, terstruktur, dan terukur.
Pemerintah sebagai Koordinator Strategis
Dalam kerangka kolaborasi multisektor, peran pemerintah bukan lagi sebagai pelaku tunggal, tetapi sebagai koordinator strategis. Pemerintah harus mampu menciptakan mekanisme kolaboratif yang mendorong keterlibatan semua pihak. Ini termasuk membuka ruang dialog, menyederhanakan regulasi kemitraan, serta memberikan insentif terhadap partisipasi sektor swasta dan masyarakat sipil.
Salah satu elemen terpenting yang disebut dalam Inpres 8/2025 adalah penguatan data terpadu. Dalam praktiknya, P3KE harus menjadi alat dinamis untuk merumuskan intervensi berbasis bukti (evidence-based policy). Artinya, kolaborasi multisektor harus didasarkan pada data yang valid dan aktual, bukan asumsi atau kepentingan sektoral semata.
Pemerintah Daerah sebagai Garda Terdepan
Optimalisasi pelaksanaan pengentasan kemiskinan ekstrem harus dimulai dari daerah. Pemerintah daerah adalah aktor yang paling dekat dengan masyarakat, memahami konteks lokal, serta memiliki perangkat operasional untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan. Dalam Inpres 8/2025, kepala daerah diinstruksikan untuk memimpin proses konvergensi program, memanfaatkan data P3KE, serta menjalin kemitraan dengan sektor non-pemerintah secara aktif.
Namun, pelibatan pemerintah daerah harus disertai dengan penguatan kapasitas kelembagaan, terutama dalam perencanaan, pemantauan, dan evaluasi berbasis data. Pemda juga perlu mengaktifkan forum koordinasi lintas sektor di tingkat daerah, seperti Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD), agar kolaborasi multisektor benar-benar berjalan efektif.
Sektor Swasta: Dari CSR ke Keterlibatan Struktural
Selama ini, pelibatan sektor swasta dalam pengentasan kemiskinan sering terbatas pada kegiatan CSR yang bersifat insidental. Namun dalam konteks Inpres 8/2025, dibutuhkan transformas pendekatan dari sekadar CSR menuju keterlibatan yang lebih strategis dan berkelanjutan. Dunia usaha harus menjadi bagian dari solusi melalui investasi berdampak sosial (social impact investment), kemitraan dengan UMKM lokal, serta penyediaan pelatihan dan lapangan kerja.
Pemerintah perlu menciptakan iklim regulatif yang mendukung pelibatan dunia usaha, misalnya dengan memberikan insentif fiskal bagi perusahaan yang konsisten mendukung penghapusan kemiskinan ekstrem. Di sisi lain, kolaborasi ini harus saling menguntungkan dan berbasis pada kebutuhan riil masyarakat miskin.
Organisasi Masyarakat Sipil sebagai Mitra Pemberdayaan
Organisasi masyarakat sipil (OMS) memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh pemerintah, yakni kedekatan dengan komunitas akar rumput dan fleksibilitas dalam merespons kebutuhan lokal. Dalam banyak kasus, OMS mampu menjangkau kelompok marginal yang selama ini luput dari jangkauan program resmi. Oleh karena itu, Inpres 8/2025 memberikan ruang yang lebih luas bagi OMS untuk terlibat dalam implementasi program, termasuk dalam pengawasan dan advokasi kebijakan.
Sinergi antara OMS, pemerintah, dan sektor swasta akan menciptakan ekosistem kolaboratif yang adaptif dan responsif terhadap dinamika lapangan.
Akademisi dan Media sebagai Katalis Perubahan
Peran akademisi tidak hanya sebagai penyedia riset dan data, tetapi juga sebagai pengembang inovasi sosial dan pemikir kebijakan. Di bawah payung Inpres 8/2025, perguruan tinggi dapat dilibatkan dalam pemetaan kemiskinan, evaluasi program, dan pengembangan model pemberdayaan yang kontekstual.
Sementara itu, media memiliki peran strategis dalam menyuarakan suara masyarakat miskin, memantau pelaksanaan program, dan membangun narasi publik yang mendukung kolaborasi multisektor. Media bukan sekadar pelapor, tetapi juga agen perubahan sosial.
Partisipasi Masyarakat sebagai Pondasi
Inpres 8/2025 menggarisbawahi pentingnya pelibatan masyarakat sebagai subjek pembangunan, bukan objek bantuan. Partisipasi masyarakat mencakup keterlibatan dalam identifikasi masalah, perencanaan solusi, pelaksanaan program, hingga pengawasan. Untuk itu, kapasitas masyarakat harus ditingkatkan melalui pelatihan, penguatan kelembagaan lokal (seperti BUMDes, koperasi, kelompok tani), serta peningkatan akses informasi dan teknologi.
Pemanfaatan Teknologi dan Inovasi
Kolaborasi multisektor tidak akan optimal tanpa dukungan teknologi. Pemerintah dapat mengembangkan platform digital kolaboratif yang memungkinkan integrasi data, monitoring bersama, dan evaluasi berbasis bukti. Misalnya, dashboard P3KE yang bisa diakses oleh semua pihak terkait, termasuk OMS dan swasta, untuk melihat data sasaran dan capaian program.
Selain itu, teknologi dapat digunakan untuk mempercepat inklusi keuangan, edukasi digital, serta memperluas pasar produk masyarakat miskin melalui e-commerce dan aplikasi pemasaran.
Tantangan dan Langkah Lanjutan
Tantangan utama dalam mewujudkan kolaborasi multisektor adalah ego sektoral, tumpang tindih program, kurangnya koordinasi antarlembaga, serta keterbatasan anggaran daerah. Untuk itu, diperlukan pendekatan manajemen perubahan (change management) yang mampu membangun budaya kerja kolaboratif lintas sektor.
Langkah-langkah yang perlu segera dilakukan antara lain:
Pembentukan forum kolaborasi multisektor di tingkat nasional dan daerah;
Penyesuaian regulasi yang menghambat sinergi lintas lembaga;
Pelatihan bersama lintas sektor untuk membangun pemahaman dan jejaring kolaboratif;
Monitoring dan evaluasi terpadu berbasis data;
Pelibatan aktif masyarakat sipil dan swasta dalam seluruh siklus program.
Harapan
Penghapusan kemiskinan ekstrem bukan sekadar kewajiban moral, tetapi juga amanat konstitusi dan kebutuhan pembangunan yang berkelanjutan. Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2025 hadir sebagai pedoman strategis untuk menjawab tantangan ini dengan pendekatan yang lebih terintegrasi, kolaboratif, dan inklusif.
Kolaborasi multisektor bukan pilihan, melainkan keharusan. Pemerintah, swasta, masyarakat sipil, akademisi, media, dan komunitas harus bersatu dalam satu barisan untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun warga negara yang tertinggal dalam arus kemajuan. Sebab, hanya dengan kebersamaan, kita bisa mewujudkan Indonesia tanpa kemiskinan ekstrem.