Oleh: Arifai Ilyas
Mahasiswa Program Ilmu Manajemen FEB Unhas

INDONESIA adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki wilayah perbatasan darat dan laut dengan sepuluh negara. Wilayah-wilayah ini merupakan “beranda negara” yang mencerminkan wajah Indonesia di mata dunia. Namun, ironisnya, kawasan perbatasan sering kali menjadi simbol keterbelakangan, ketimpangan, dan ketertinggalan. Dalam konteks pembangunan nasional, daerah perbatasan semestinya tidak lagi diposisikan sebagai kawasan pinggiran, tetapi sebagai kawasan strategis yang memiliki potensi besar untuk pertumbuhan dan pemerataan pembangunan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pembangunan daerah perbatasan menjadi sangat penting dalam menjaga integritas wilayah, meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, serta memperkuat posisi Indonesia dalam tataran geopolitik regional.

Tulisan ini akan mengupas kondisi aktual daerah perbatasan, tantangan pembangunan, serta strategi yang perlu dikembangkan untuk mewujudkan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan, dengan merujuk pada regulasi yang masih berlaku.

Realitas dan Tantangan Daerah Perbatasan

1. Ketertinggalan Infrastruktur dan Aksesibilitas

Sebagian besar daerah perbatasan di Indonesia, seperti di Kalimantan Utara, Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur, masih menghadapi keterbatasan infrastruktur dasar. Akses jalan, jembatan, jaringan listrik, air bersih, serta internet masih minim. Akibatnya, mobilitas barang dan jasa menjadi terbatas, biaya logistik tinggi, dan interaksi ekonomi dengan pusat pertumbuhan nasional sangat rendah.

2. Ketimpangan Sosial dan Ekonomi

Daerah perbatasan mengalami ketimpangan dalam distribusi sumber daya, layanan dasar, dan kesempatan kerja. Penduduk lokal cenderung mengandalkan aktivitas subsisten dan informal. Di banyak lokasi, harga barang kebutuhan pokok jauh lebih tinggi dibanding daerah lain, sementara daya beli masyarakat rendah.

3. Ancaman Keamanan dan Kedaulatan

Wilayah perbatasan juga menghadapi tantangan keamanan, seperti aktivitas penyelundupan,
perlintasan ilegal, konflik batas wilayah, hingga ancaman ideologis dan separatisme. Minimnya kehadiran negara dalam bentuk aparat keamanan dan lembaga pelayanan publik semakin memperparah situasi ini.

4. Marjinalisasi Budaya dan Identitas Lokal

Pembangunan yang tidak sensitif terhadap kearifan lokal sering kali mengabaikan dimensi sosial-budaya masyarakat perbatasan. Akibatnya, terjadi alienasi identitas, serta pelemahan semangat kebangsaan masyarakat yang berada di wilayah perbatasan.

Kerangka Regulasi Terkait Pembangunan Perbatasan

Pemerintah Indonesia telah menetapkan sejumlah regulasi untuk mempercepat pembangunan kawasan perbatasan, antara lain:

1. Peraturan Presiden Nomor 118 Tahun 2022

Perpres ini menetapkan Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Tahun 2020–2024. Fokus utamanya adalah memperkuat fungsi kawasan perbatasan sebagai gerbang negara yang aman, maju, dan berdaya saing. Rencana induk ini menjadi rujukan utama dalam perencanaan lintas sektor dan lintas wilayah.

2. Peraturan Presiden Nomor 105 Tahun 2021
Perpres ini mengatur tentang Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, termasuk kawasan perbatasan. Di dalamnya diatur strategi percepatan pembangunan melalui sinergi program pusat-daerah, optimalisasi pendanaan, serta penguatan kapasitas kelembagaan lokal.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008

PP ini menetapkan kawasan perbatasan sebagai Kawasan Strategis Nasional, yang berarti mendapat prioritas dalam perencanaan tata ruang nasional. Pemerintah daerah didorong untuk menyusun rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang mengintegrasikan kawasan perbatasan ke dalam kerangka pembangunan jangka menengah dan panjang.

4. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2021 tentang Percepatan Pembangunan Kawasan Perbatasan Negara

Inpres ini menugaskan kementerian/lembaga untuk mengintegrasikan program pembangunan perbatasan dalam rencana kerja tahunan. Inpres ini juga memperkuat posisi Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) sebagai koordinator utama pelaksanaan kebijakan pembangunan perbatasan.

Strategi Pembangunan Daerah Perbatasan yang Inklusif dan Berkelanjutan

Pembangunan daerah perbatasan tidak cukup dilakukan dengan pendekatan proyek semata. Diperlukan strategi yang menyeluruh, inklusif, dan berorientasi pada keberlanjutan jangka panjang.

1. Transformasi Infrastruktur Dasar yang Adaptif

Pembangunan infrastruktur seperti jalan perintis, pelabuhan rakyat, dan jaringan listrik off-grid harus menyesuaikan dengan kondisi geografis dan ekologis setempat. Pengembangan infrastruktur berbasis energi terbarukan seperti PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) menjadi solusi untuk wilayah yang belum terjangkau jaringan listrik konvensional.

2. Revitalisasi Ekonomi Lokal Berbasis Potensi Unggulan

Setiap daerah perbatasan memiliki potensi sumber daya alam dan budaya yang khas. Pemerintah perlu mendorong program revitalisasi ekonomi berbasis pertanian organik, perikanan berkelanjutan, dan ekowisata. Pemberdayaan koperasi dan UMKM lokal juga perlu difasilitasi melalui pelatihan, akses permodalan, dan jejaring pemasaran.

3. Pelayanan Dasar yang Merata dan Bermutu

Pemerintah harus memastikan kehadiran layanan kesehatan, pendidikan, dan administrasi kependudukan secara merata di kawasan perbatasan. Penggunaan teknologi digital untuk layanan publik (e-government) dapat mempercepat distribusi layanan, khususnya untuk daerah terpencil.

4. Penguatan Kelembagaan Lokal dan Partisipasi Masyarakat

Desentralisasi pembangunan perlu dibarengi dengan penguatan kapasitas pemerintah daerah, aparat desa, dan masyarakat sipil. Pendekatan community-based development akan mendorong masyarakat perbatasan menjadi subjek pembangunan, bukan sekadar objek. Program-program seperti Dana Desa dan BUMDes harus diarahkan untuk mendukung pembangunan berbasis kebutuhan riil masyarakat perbatasan.

5. Sinergi Antarsektor dan Wilayah

Koordinasi lintas sektor menjadi kunci sukses pembangunan perbatasan. BNPP sebagai koordinator harus memperkuat mekanisme integrasi perencanaan antara kementerian/lembaga, pemerintah daerah, serta mitra pembangunan lainnya. Di sisi lain, kerja sama antarnegara di wilayah perbatasan, seperti Indonesia–Malaysia atau Indonesia–PNG, harus difokuskan pada pembangunan lintas batas yang saling menguntungkan.

6. Penguatan Ketahanan Sosial dan Ideologi

Pembangunan fisik harus diiringi dengan penguatan nilai kebangsaan, pendidikan karakter, dan pemajuan kebudayaan lokal. Kehadiran negara di perbatasan tidak hanya diukur dari bangunan fisik, tetapi juga dari kualitas relasi sosial, rasa aman, dan kecintaan masyarakat terhadap Indonesia.

Membangun dari Beranda

Menata beranda negara bukanlah proyek lima tahunan, melainkan investasi jangka panjang untuk memperkuat identitas dan kedaulatan bangsa. Pembangunan daerah perbatasan harus menjadi bagian integral dari visi pembangunan nasional yang berpihak pada keadilan spasial dan keberlanjutan ekologis.

Pemerintah pusat dan daerah harus terus meningkatkan koordinasi, memperkuat kerangka regulasi, dan mengedepankan inovasi dalam perencanaan serta pelaksanaan pembangunan perbatasan. Lebih dari itu, pembangunan yang inklusif harus mampu menjadikan masyarakat lokal sebagai aktor utama, bukan penonton pasif dalam transformasi wilayah mereka sendiri.

Sebagaimana dikatakan Bung Hatta, “Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta, tapi karena lilin-lilin di desa yang tidak pernah padam.” Daerah perbatasan adalah lilin-lilin itu. Sudah saatnya mereka bersinar terang, sebagai penanda bahwa Negara hadir, menyapa, dan membangun dari pinggiran.