Oleh: Arifai Ilyas
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Manajemen FEB Unhas

TRANSFORMASI digital telah mengubah lanskap ritel secara drastis di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kemunculan platform e-commerce, media sosial, dan digital payment telah menciptakan perilaku belanja konsumen yang serba instan, praktis, dan terhubung. Di tengah dinamika ini, konsep omnichannel marketing muncul sebagai strategi kunci untuk memastikan keberlanjutan dan daya saing bisnis ritel, baik berskala besar maupun kecil.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dari Multichannel Menuju Omnichannel

Banyak pelaku usaha mengira bahwa kehadiran di berbagai platform digital sudah cukup sebagai strategi adaptasi. Padahal, sekadar menggunakan banyak saluran (multichannel) tidak otomatis menjamin efektivitas pemasaran jika saluran-saluran tersebut tidak terintegrasi.

Omnichannel marketing melampaui pendekatan multichannel. Ini bukan hanya tentang “berada di mana-mana”, tetapi tentang menghadirkan pengalaman yang konsisten, terpadu, dan personal di semua titik kontak dengan konsumen baik secara offline (toko fisik) maupun online (media sosial, marketplace, aplikasi, website). Dalam sistem ini, konsumen dapat memulai perjalanan belanja mereka di satu kanal dan menyelesaikannya di kanal lain tanpa hambatan.

Misalnya, seorang pelanggan bisa melihat produk melalui Instagram, mencoba produk di toko fisik, lalu menyelesaikan pembelian melalui aplikasi. Data dan pengalaman pengguna disatukan dalam satu sistem, menciptakan hubungan yang mulus dan berkesinambungan.

Mengapa Omnichannel Penting bagi Indonesia?

1. Perubahan Perilaku Konsumen

Generasi milenial dan Gen Z sebagai pendorong utama konsumsi kini lebih memilih kenyamanan dan kecepatan. Mereka terbiasa berinteraksi dengan brand melalui media sosial, mencari ulasan produk secara online, dan mengharapkan respons cepat dalam komunikasi. Konsumen juga makin menuntut personalisasi: mereka ingin rekomendasi produk yang sesuai minat, diskon yang relevan, dan layanan yang responsif.

Strategi omnichannel memungkinkan pelaku ritel mengumpulkan data dari berbagai kanal untuk memahami preferensi pelanggan secara lebih mendalam, lalu menyesuaikan pendekatan pemasaran dan layanan.

2. Dominasi E-Commerce dan Sosial Media

Data dari Google-Temasek-Bain & Company (2024) menunjukkan bahwa nilai ekonomi digital Indonesia mencapai lebih dari USD 80 miliar, dengan e-commerce menyumbang porsi terbesar. Di sisi lain, laporan We Are Social menyebutkan bahwa lebih dari 170 juta masyarakat Indonesia aktif di media sosial, menjadikannya kanal pemasaran yang vital.

Namun, pertumbuhan e-commerce tidak menghapus peran toko fisik sepenuhnya. Konsumen tetap menginginkan sentuhan langsung, pengalaman mencoba produk, atau layanan purna jual yang nyata. Di sinilah integrasi offline dan online menjadi penting. Ritel masa depan bukan memilih antara fisik atau digital, tetapi menggabungkan keduanya secara strategis.

3. Peluang Besar bagi UMKM

Indonesia memiliki lebih dari 64 juta UMKM, yang menyumbang lebih dari 61% PDB nasional. Sebagian besar UMKM ini masih berada dalam fase awal digitalisasi. Banyak dari mereka baru berjualan di satu platform marketplace, atau sekadar memasarkan lewat WhatsApp dan Instagram.

Dengan mendorong UMKM menerapkan pendekatan omnichannel secara bertahap misalnya mengintegrasikan katalog produk antara media sosial dan marketplace, atau menggunakan sistem
kasir digital terhubung ke sistem inventori maka efisiensi dan jangkauan pasar mereka akan meningkat drastis.

Tantangan Implementasi Omnichannel di Indonesia

Walaupun menjanjikan, penerapan omnichannel marketing di Indonesia bukan tanpa tantangan:

1. Kesenjangan Digital

Akses terhadap teknologi digital masih belum merata, terutama di luar Pulau Jawa. Infrastruktur internet, keterjangkauan perangkat digital, dan literasi digital menjadi hambatan utama bagi pelaku usaha di daerah.

2. Kurangnya Integrasi Sistem

Banyak pelaku ritel menggunakan berbagai sistem yang berdiri sendiri (standalone), misalnya sistem kasir manual, inventori yang dicatat di buku, dan komunikasi dengan pelanggan melalui pesan pribadi. Tanpa integrasi, informasi tidak bisa disinkronkan secara real-time, menyebabkan inefisiensi dan pengalaman pelanggan yang buruk.

3. Keterbatasan Sumber Daya Manusia

SDM yang memahami strategi pemasaran digital dan pengelolaan data pelanggan masih terbatas, terutama di sektor UMKM. Banyak pelaku usaha belum memahami pentingnya data pelanggan atau bagaimana menggunakannya untuk menyusun strategi penjualan yang lebih tepat sasaran.

4. Biaya Implementasi Teknologi

Adopsi sistem omnichannel memerlukan investasi awal, baik dalam bentuk software, pelatihan, maupun restrukturisasi proses bisnis. Untuk ritel kecil dan menengah, biaya ini bisa menjadi beban, kecuali ada dukungan dari ekosistem atau pemerintah.

Strategi Akselerasi Omnichannel di Indonesia

Untuk mewujudkan masa depan ritel berbasis omnichannel secara inklusif, berbagai pihak perlu bersinergi:

1. Digitalisasi UMKM Secara Bertahap

Pemerintah dan platform digital perlu terus mendorong digitalisasi UMKM dengan pendekatan bertahap, mulai dari:
 Digital presence (media sosial, katalog online)
 Marketplace onboarding
 Integrasi sistem kasir dan inventori
 Penggunaan CRM (Customer Relationship Management)

Program pendampingan dan pelatihan harus disesuaikan dengan kemampuan masing-masing segmen pelaku usaha.

2. Kolaborasi dengan Platform Digital

Banyak platform seperti Tokopedia, Shopee, TikTok Shop, hingga Meta Business Suite menyediakan fitur yang memudahkan integrasi kanal penjualan. Pemerintah dan asosiasi perdagangan dapat menjalin kemitraan strategis untuk menyosialisasikan fitur-fitur ini dan memberikan pelatihan teknis.

3. Infrastruktur dan Inklusi Digital

Pemerintah perlu mempercepat pembangunan infrastruktur digital di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) untuk memastikan semua pelaku usaha punya akses terhadap peluang digital. Selain itu, program literasi digital harus mencakup pemahaman tentang keamanan data, analitik, dan manajemen sistem.

4. Insentif bagi Transformasi Digital

Pemerintah bisa memberikan insentif pajak, subsidi perangkat lunak, atau kredit usaha rakyat berbasis transformasi digital sebagai stimulus bagi pelaku ritel yang ingin menerapkan omnichannel.

5. Pendidikan dan Inkubasi Talenta Digital

Sekolah vokasi, universitas, dan lembaga pelatihan bisa menyediakan program spesifik tentang omnichannel marketing, manajemen e-commerce, dan customer experience. Mendorong kemunculan talenta digital dari daerah akan mempercepat transformasi ritel lokal.

Masa Depan Ritel adalah Terpadu, Bukan Terpisah

Perjalanan belanja konsumen tidak lagi linear. Mereka bisa “melihat-lihat” di Instagram, membaca review di YouTube, membandingkan harga di marketplace, lalu membeli di toko fisik. Pola ini bukan pengecualian, tetapi sudah menjadi norma baru.

Di masa depan, ritel tidak akan lagi dibatasi oleh dinding toko atau layar ponsel, melainkan akan berada di setiap titik di mana konsumen berinteraksi. Pengalaman pelanggan menjadi satu kesatuan yang utuh personal, responsif, dan tanpa batas.

Pelaku usaha yang tidak segera beradaptasi akan kesulitan bertahan, karena pesaing yang mampu memberikan pengalaman omnichannel akan memenangkan loyalitas konsumen.

Harapan: Kolaborasi untuk Masa Depan Ritel yang Inklusif

Omnichannel marketing bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan strategis dalam era digital. Ia memberikan cara baru bagi pelaku usaha untuk membangun hubungan lebih kuat dengan konsumen, memperluas jangkauan pasar, dan meningkatkan efisiensi operasional.

Indonesia memiliki modal besar: populasi digital yang masif, pelaku usaha yang kreatif, dan pertumbuhan kelas menengah yang terus meningkat. Namun, agar potensi ini tidak menjadi paradox besar tapi tertinggal maka transformasi ritel berbasis omnichannel harus dipercepat secara kolektif. Dengan sinergi antara pemerintah, sektor swasta, pelaku teknologi, dan masyarakat, kita
bisa mewujudkan ekosistem ritel digital yang inklusif, adil, dan berkelanjutan.